Peradaban Islam Periode Rasulullah di Madinah (622 – 632 M)


MAKALAH
SEJARAH PERADABAN ISLAM
 PASCASARJANA PRODI PENDIDIKAN ISLAM IAIN BUKITTINGGI

Tentang
Peradaban Islam Periode Rasulullah di Madinah
(622 – 632 M)










Oleh :
AZWARMAN
201.15.031

Dosen Pembimbing
Dosen Pembimbing: Dr. Gazali, M.Ag/Dr. Syafwan Rozi, M.Ag









PROGRAM PASCASARJANA
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
BUKITTINGGI
Peradaban Islam Periode Rasulullah di Madinah (622 – 632 M)

A.    Arti Hijrah Nabi ke Medinah
Secara etimologis, hijrah berarti pindah, meninggalkan tempat tinggalnya untuk menuju ke suatu tempat yang baru, atau mengungsi karena alasan tertentu. Pada masa perjuangan menyebarkan Islam, Rasulullah s.a.w dan para sahabatnya, pertama kali berhijrah ke Habsyah  (Abisinia) yang rakyatnya beragama Kristen namun rajanya Najasyi bersifat adil. Hal ini terjadi pada tahun ke lima setelah beliau dianggkat menjadi Nabi. Hijrah ini terdiri dari dua gelombang: pertama diikuti oleh 14 orang, dan kedua 100 orang. Faktor pemicu hijrahnya Rasulullah saw. ke Habsyah adalah karena perbedaan keimanan. Di satu pihak kaum Quraisy adalah penyembah berhala dan bersikukuh mempertahankan ajaran nenek moyangnya, bahkan mereka memaksa para pengikut Muhammad s.a.w untuk menghasut, dan keluar dari ajaran Muhammad s.a.w. Di sisi lain, Muhammad s. a. w dan para pengikutnya adalah penganut agama tauhid yang karena keimanan dan kecintaan mereka kepada Allah s.w.t, tidak rela menanggalkan keyakinannya hanya karena kesulitan yang dihadapi berupa intimidasi, ancaman, boikot, dan upaya pembunuhan.
2. Hijrah dalam perspektif sejarah
Setelah berhijrah ke Habsyah, Nabi dan pengikutnya tetap berjuang menyebarkan ajaran agama tauhid di Mekkah sehingga mereka mengalami penderitaan dan siksaan yang lebih keras dari kaum Quraisy. Sekitar 620 orang Madinah menemui Muhammad setelah festival pasar ukaz untuk mengundang Muhammad ke Madinah karena mereka kasihan kepada kelompok Muhammad dan tidak digubris oleh Muhammad. Dua tahun kemudian datang lagi utusan masyarakat madinah sebanyak 75 orang untuk mengajak Muhammad dan kaumnya untuk tinggal di Madinah dengan harapan ia bias mendamaikan suku Aws dan Khazraj yang selalu bermusuhan. Maka tanggal 24 September 622 M Muhammad mengizinkan 200 orang untuk pergi secara diam diam kemadinah. Kejadian tersebut terkenal dengan sebutan hijrah bukan pelarian, tapi merupakan rencana matang yang dipersiapkan secara seksama selama dua tahun[1]. Namun, karena iman kepada Allah s.w.t telah terpateri dalam jiwa masing-masing, maka tidak menyurutkan semangat mereka untuk terus berda’wah. Iman berarti sinergitas antara ucapan dan perbuatan. Secara naluriah, manusia lebih mencintai tanah kelahiran, kerabat dan    kekayaannya.   Meninggalkan tanah leluhur dan hal duniawi yang dicintainya menuju tempat yang belum diketahui kondisi sosial dan geografisnya membutuhkan tekad kuat dan niat yang tulus. Rasulullah beserta para sahabatnya yang setia telah mencontohkan bahwa hijrah adalah manifestasi dari iman yang membaja. Dalam konteks yang luas, hijrah dapat diartikan sebagai upaya keluar dari penderitaan dan ultimatum. Hijrah juga merupakan ujian bagi yang beriman sekaligus sebagai pembeda antara yang munafik dengan yang benar-benar beriman.
Rasulullah dan para sahabatnya berda’wah tanpa kenal menyerah di Mekkah selama 12 tahun lebih. Pada saat itu mereka mengalami siksaan dan penderitaan. Allah s.w.t Yang Maha Penyayang dan Maha Perancang atas kehidupan manusia, memerintahkan Muhammad s.a.w dan sahabatnya meninggalkan Mekkah menuju Yatsrib, suatu tempat 450 km (14 hari perjalanan) ke arah selatan yang belum dikenalnya untuk menyelamatkan iman mereka. (QS. At-Taubah: 40)
Setelah mengarungi padang pasir yang sangat luas dan amat panas, pada hari Senin 8 Rabi’ul Awwal, Rasulullah tiba di Quba, 10 km dari Yatsrib. Di sini Rasulullah mendirikan Masjid pertama. Pada hari Jum’at 12 Rabi’ul Awwal (24 September 622 M) Rasulullah s.a.w bersama Abu Bakr dan Ali bin Abi Thalib memasuki Yatsrib yang disambut hangat oleh penduduk setempat. Inilah awal peristiwa Hijrah[2]. Pada hari itu juga beliau mendirikan shalat Jum’at yang pertama kali dalam sejarah Islam, dan beliau sebagai khatibnya. Pada hari jumat itu rasul meninggalkan  Quba, untuk menuju madinah , serombongan Bani Najjar mengawal perjalanan Rasulullah saw .[3]
Menurut teori evolusi, hijrah adalah perjuangan mempertahankan hidup, perjuangan untuk mempertahankan eksistensi, perjuangan untuk menyelamatkan Islam. Berdasarkan ilmu strategi, hijrah merupakan taktik, yaitu strategi penyebaran Islam dan mempertahankan iman ummat Islam yang sudah ada. Cara Rasulullah s.a.w dan sahabatnya  membuktikan  keberhasilan  da’wah  melalui hijrah. Indikatornya adalah eksistensi Islam sampai hari ini dan peningkatan jumlah ummatnya dari tahun ke tahun. Islam merupakan agama yang paling cepat penyebarannya di dunia. Ketika Rasulullah s.a.w bersama rombongannya memasuki Yatsrib kemudian berganti nama menjadi Madinah, mula-mula beliau membangun masjid bernama masjid Quba sebagai sentral pem-binaan ummat. Masjid pada masa Rasulullah berfungsi sebagai institusi sosial dan spiritual. Melalui masjid inilah beliau mengajarkan agar ummatnya selalu menjalin hubungan baik secara vertikal dan horisontal. Kesalihan spiritual seseorang tidaklah cukup menghantarkannya mencapai kebahagiaan abadi di akhirat. Dalam surat Ali ‘Imran: 112 dikatakan:
Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. yang demikian itu. Karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. yang demikian itu  disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas.
Ayat ini mengisyaratkan jika manusia tidak menjaga hubungan baik dengan Allah yaitu mengabaikan perintah dan laranganNya maka akan menerima pembalasan yang membuat dirinya hina di akhirat yaitu masuk neraka. Dan isyarat kedua yaitu, apabila manusia tidak menjaga hubungan baik sesamanya, maka kesengsaraanlah yang akan mereka rasakan di dunia. Kesalihan spiritual harus sinergi dengan kesalihan sosial.
Adapun masjid Quba merupakan masjid pertama yang dibangun dalam periode penyebaran Islam.[4]  Beliau dan para sahabatnya ketika pertama kali menginjakkan kaki di Madinah, tidak membangun benteng pertahanan dari ancaman serangan kaum Quraisy yang pasti akan mereka lakukan. Hal ini menunjukkan bahwa Islam  yang  dibawa  oleh  Rasulullah  s.a.w  bukanlah agama kekerasan. Islam cinta damai. Dalam kondisi darurat pun Islam mengajarkan konsep defensif bukan ofensif.
Semasa Rasulullah s.a.w menetap di Madinah, masjid memiliki multi fungsi, diantaranya sebagai pusat  kegiatan  ibadah: shalat berjama’ah, berdzikir, i’tikaf, aktivitas puasa dan lain-lain. Shalat berjama’ah di Masjid, tidak hanya memberi kesempatan bagi yang mengerjakannya untuk mengoleksi pahala lebih banyak, namun ia juga merupakan media sosial untuk membangun, mem-bina dan memperluas relasi sosial yang diperlukan dalam kehidupan manusia. Masjid bagi beliau laksana inspirator pekerjaann, sentral kegiatan sosial, politik dan ekonomi. Peran sosial: Di masjid, Rasulullah menyediakan tempat bagi para musafir untuk beribadah dan beristirahat, tempat tinggal budak yang baru dimerdekakan Menjadi sentra pengelolaan, mulai dari pengumpulan sampai pendistribusian harta zakat bagi ummat Islam. Masjid boleh dibangun secara kolektif atau perorangan, namun kemudian ia menjadi milik Allah s.w.t.
3. Hijrah dalam konteks peradaban Islam
Peristiwa Hijrah Rasulullah s.a.w dan para sahabatnya dari Mekkah ke Madinah  menjadi fondasi salah satu peradaban Islam yaitu kemampuan mereka menghitung dan mengklasifikasikan waktu secara kronlogis: masa lalu, sekarang dan akan datang. Waktu diklasifikasikan ke dalam kategori hari, minggu, bulan, tahun, dekade, dan abad. Klasifikasi ini semuanya berpijak dari Hijrahnya Rasulullah s. a. w ke Madinah. Kalendariun dalam Islam berdasarkan peredaran bulan (qamariyah). Nama-nama bulan yang dipakai berdasarkan tahun Hijriah adalah: Muharram, Shafar, Rabi”ul Awwal, Rabi’utstsani, Jumadal Ula, Jumadats Tsani, Rajab, Sya’ban, Ramadhan, Syawwal, Dzul Qa’dah dan Dzul Hijjah.
Penggunaan nama-nama bulan ini sejak Rasulullah s.a.w masih hidup. Hal itu terlihat dari sabda-sabda beliau yang memerintahkan amalan sunnah pada bulan tertentu, diantaranya berpuasa enam hari pada bulan Syawwal dan berpuasa pada tanggal 15 Sya’ban. Kalendarium Islam terhitung sejak Hijrah Rasulullah s.a.w bukan sejak lahirnya Nabi Muhammad s.a.w. Pondasi penanggalan Islam digagas dan penggunaanya diperintahkan  oleh  Rasulullah s. a.w  yaitu  saat  beliau memerintahkan sahabat Ali r.a untuk mencatat perjanjian dengan kaum Nasrani di Najran pada tahun ke lima Hijrah atau empat tahun sesudah beliau menetap di Madinah. Kemudian pada masa pemerintahan Khalifah ‘Ummar bin Khattab, ditetapkanlah secara resmi penggunaan tahun Hijriah sebagai kalendarium Islam atas dasar peristiwa Hijrah merupakan momen sangat bersejarah dalam perjuangan menyebarkan Islam.
Hijrah adalah cikal bakal eksistensi Islam sampai sekarang. Basis Hijrah adalah iman, niat dan amal. Itulah sebabnya ketika Rasulullah memberitahukan agar para sahabatnya meninggalkan Mekkah menuju Madinah, dan ada salah seorang calon peserta rombongan yang berkata bahwa keikutsertaannya adalah untuk mencari jodoh, maka Rasulullah s.a.w bersabda:
 Sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung kepada niatnya. Apabila niat hijrahnya karena mentaati Allah dan RasulNya, maka ia akan memperoleh pahalanya. Apabila hijrahnya karena kepentingan dunia atau mencari pasangan hidup, maka yang akan diperoleh adalah kesenangan dunia atau jodohnya.  (HR. Bukhari-Muslim).
Pemakaian kalendarium Masehi yang berdasarkan kepada peredaran matahari dimulai setelah lima abad wafatnya Nabi Isa. Di sisi lain, pemakaian kalendarium tersebut tidak diperintahkan oleh Nabi Isa. Ironisnya, meskipun jumlah penganut Islam menduduki posisi kedua di dunia, penggunaan kalendarium   Masehi   dalam   keseharian   formal  maupun   informal   lebih   populer  dan  lebih banyak daripada kalendarium Hijriah. Ini terjadi karena dominasi politis dan kultural global. Ummat Islam lebih hafal nama-nama bulan Masehi dari pada Hijriah. Alangkah baiknya jika ummat Islam dapat mempertahankan salah satu entitasnya dengan tetap menggunakan warisan budaya yang dirintis oleh Rasulullah s.a.w. Penetapan kalendarium sebagai pijakan sejarah berperan penting untuk merancang masa depan.
4. Hijrah dalam konteks ideologis
Apabila ummat Islam mengalami larangan, intimidasi, ancaman dan gangguan di tempat tinggalnya untuk menjalankan ajaran agama sedangkan upaya pembelaan baik secara individual maupun kolektif tidak menghasilkan jalan ke luar, maka Hijrah menjadi alternativ kewajiban. Konsep Hijrah dalam situasi ini adalah mengacu kepada ayat QS. Al-Anfal: 72
{إِنَّ الَّذِينَ آمَنُواْ وَهَاجَرُواْ وَجَاهَدُواْ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ آوَواْ وَّنَصَرُواْ أُوْلَـئِكَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ وَالَّذِينَ آمَنُواْ وَلَمْ يُهَاجِرُواْ مَا لَكُمْ مِّن وَلاَيَتِهِم مِّن شَيْءٍ حَتَّى يُهَاجِرُواْ وَإِنِ اسْتَنصَرُوكُمْ فِي الدِّينِ فَعَلَيْكُمُ النَّصْرُ إِلاَّ عَلَى قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِّيثَاقٌ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Artinya: 72.  Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertoIongan (kepada orang-orang Muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi[624]. dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, Maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. (akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, Maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang Telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.
Ayat diatas  mengandung pesan bahwa apabila ummat Islam ditindas, maka wajib bagi mereka melakukan pembelaan diri. Jika tidak mampu membela diri karena berbagai hal, maka hijrah ke tempat lain menjadi kewajiban baginya untuk meminta suaka politik. Kalau mereka tidak hijrah, maka ummat Islam di tempat lain tidak berkewajiban melakukan intervensi dalam hal tersebut. Tetapi apabila yang tertindas, ternodai, dan terancam eksistensinya adalah agama, maka menjadi kewajiban setiap ummat Islam di manapun untuk melakukan pembelaan agama. Allah s.w.t mengecam orang-orang Islam Mekkah yang tidak mau hijrah bersama Rasulullah s.a.w padahal mereka mampu. Mereka termasuk orang yang menganiaya diri sendiri, yaitu dipaksa oleh kaum kafir untuk berperang melawan Nabi Muhammad s.a.w pada perang Badr sehingga ada di antara mereka yang terbunuh  (QS. An-Nisa: 97).
{إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُواْ فِيمَ كُنتُمْ قَالُواْ كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الأَرْضِ قَالْواْ أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُواْ فِيهَا فَأُوْلَـئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَآءَتْ مَصِيراً}
Artinya: 97.  Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri[5][342], (kepada mereka) malaikat bertanya : "Dalam keadaan bagaimana kamu ini?". mereka menjawab: "Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)". para malaikat berkata: "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?". orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali,
Berhijrah juga wajib bagi orang Islam apabila di tempat tinggalnya tidak ada seorangpun ulama yang mengajarkan Islam. Kewajiban hijrah bagi laki-laki, wanita atau anak-anak yang tertindas gugur apabila mereka tidak berdaya dan tidak tahu jalan untuk keluar dari tempat mereka (QS. An-Nisa: 98). Allah s.w.t menjelaskan bagi orang-orang yang tertindas namun ragu untuk berhijrah bahwa bumi ini luas dan menjan-jikan rizki yang banyak di tempat baru. (QS. An-Nisa: 100)
5. Hijrah menurut kaca mata philosofis
Secara philosofis, Hijrah Rasulullah 15 abad lalu mengandung makna masa peralihan, perkembangan dan perubahan. Peristiwa itu membagi masa perjuangan Nabi Muhammad kedalam dua periode: Mekkah dan Madinah. Pada periode Mekkah perjuangan Rasulullah dipandu  oleh Allah s.w.t melalui ayat-ayat yang diwahyukan kepadanya di Mekkah. Ayat-ayat itu disebut Makkiyah yang memilki karakteristik: pendek, singkat, tegas, menyeru manusia untuk beriman kepada Allah Yang Maha Esa. Perintah MengEsakan Allah s.w.t. Inti ajarannya adalah tauhidullah (Meng-Esa-kan Allah) dan memberi peringatan keras kepada yang menolak konsep tauhid ini dengan siksaan di akhirat. Ciri lain adalah banyak ayat-ayat Makkiyah yang diawali dengan seruan bagi  manusia “yaa-ayyuhan naasu”. Ayat-ayat Makkiyah merupakan fondasi ajaran agama yang menekankan kepada menjalin hubungan vertikal manusia dengan    Allah    s.w.t.   Jumlah    surat   dalam Al-Qur’an yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad s.a.w (Makkiyah) yaitu 86 surat terdiri dari 4.780 ayat atau 19/30 dari isi kandungan Al-Qur’an. Di Mekkah, da’wah Rasulullah berfokus kepada pembinaan kepribadian ummat Islam (character building) dan penanaman keimanan kepada Allah s.w.t sebagai satu-satunya Tuhan yang wajib disembah.
Adapun masa perjuangan di Madinah dibimbing oleh ayat-ayat yang diwahyukan di Madinah (Madaniyah). Ciri-ciri ayatnya adalah lebih panjang, deskriptif dan eksploratif. Ayat-ayatnya diawali dengan seruan kepada orang-orang beriman“yaa-ayyuhalladziina aamanuu”. Jumlah surat dalam Al-Qur’an yang merupakan kategori Madaniyah adalah 28 mencakup 1.456 ayat atau 11/30 dari isi kandungan Al-Qur’an. Ayat-ayat tersebut menjelaskan masalah sosial dan kebudayaan. Hanya sembilan ayat dalam surat Madaniyah yang dimulai dengan ungkapan “yaa-ayyuhan naasu“, yaitu dua ayat (21 dan 168) pada surat Al-Baqarah,  tiga ayat (1, 170  dan 174) pada surat An-Nisa, tiga ayat (1, 5, dan 73) pada surat Al-Haj, dan satu ayat (13) pada surat Al-Hujurat.
Dapat disimpulkan bahwa Hijrah mengandung makna perjuangan hidup yang harus dilakukan oleh setiap orang Islam untuk mempertahankan jati diri secara individual dan kolektif dan upaya melakukan per-ubahan dan peningkatan kualitas iman, Islam dan ihsan Orang yang berhijrah karena Allah dan RasulNya untuk menyebarkan Islam akan memperoleh tempat baru yang nyaman dan rizki yang luas. Hijrah juga merupakan manifestasi salah satu sifat Allah s.w.t yang “hayyun”(dinamis). Dinamis berarti bergerak, tumbuh dan berkembang. Saat ini kita perlu memahami kembali makna Hijrah dan merevitalisasi fungsi serta peran Masjid dalam konteks Hijrah sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah s.a.w.[6] Dengan kata lain, Madinah merupakan cikal bakal lahirnya tatanan masyarakat Islam (Negara Islam Madinah) yang patut dilestarikan oleh ummat Islam pada masa kekinian.

B.     Dasar Berpolitik Nabi Dalam Negeri  Madinah
Ketika nabi Muhammad sampai dimadinah beliau dihadapkan pada persoalan bagai mana menata masyarakat yang kompleks.Untuk itu nabi menata kehidupan politik dengan menempuh dua cara
·         Pertama: Menata interen kehudupan kaum muslimin,mempersaudarakan kaum muhajirin dan anshar yang disebut oleh Philip K Hitti menyebut sebagai “ suatu miniature dunia islam”.
·         Kedua Nabi mempersatukan antara kaum muslimin dan kaum yahudi bersama sekutunya[7]
 Politik diartikan sebagai seni mengatur dan memerintah masyarakat. Agak sulit memisahkan Muhammad SAW dari kepemimpinan politik, sebab di samping sebagai seorang rasul beliau adalah kepala masyarakat politik muslim pertama dengan Madinah sebagai pusat pemerintahan. Muhammad SAW merupakan seorang pemimpin politik karena mempunyai kapasitas dalam mengatur dan mengelola masyarakat muslim yang dipusatkan di Madinah.
Parasejarawan membagi periode awal Islam menjadi periode Makkah dan Madinah.
·         Periode Makkah merupakan peletakan dasar-dasar agama tauhid dan pembentukan akhlak mulia.
·         Periode Madinah menandai kemunculan Islam sebagai sebuah kekuatan sosial dan politik. Muhammad SAW tidak lagi hanya tampil sebagai seorang rasul yang menyerukan agama Islam tetapi sebagai pemimpin dari sebuah komunitas peradaban baru berpusat di Madinah. Dengan demikian pembentukan sebuah masyarakat Islami telah dimulai, sejak itu wahyu yang turun tidak lagi terbatas pada seputar ke-Esaan Tuhan tetapi mulai mencakup ajaran lainnya yang berhubungan dengan pengaturan kehidupan masyarakat.
Pada waktu itu disekitar dunia Arab ada beberapa kerajaan seperti Romawi dan Persia. Sementara di tanah Arab sendiri terdapat beberapa penguasa kecil yang wilayahnya tidak terlalu besar. Kerajaan-kerajaan Romawi dan Persia tidak tertarik dengan semenanjung Arab yang tandus. Jazirah Arab pada waktu itu dijadikan sebagai daerah pemisah antara Romawi dan Persia.  Masyarakat yang hidup di jazirah Arab terdiri dari berbagai suku-suku besar yang terbagi lagi ke beberapa suku-suku yang lebih kecil. Mereka hidup menurut aturan-aturan yang hanya mengikat terhadap anggota masing-masing. Meskipun demikian mereka memiliki adat kebiasaan yang disepakati bersama oleh semua suku. Dengan demikian mereka tidak terikat dengan hukum kerajaan sebagai mana masyarakat di Romawi dan Persia.
Dalam bersikap terhadap dua Negara besar Romawi dan Persia masing-masing suku memiliki kecenderungan yang berbeda. Namun dari segi politik dan administrasi pemerintahan mereka tetap merdeka. Di antara mereka ada yang memihak Romawi dan yang lain memihak Persia. Sebagai contoh, ketika Persia berhasil mengalahkan Romawi di wilayah Syria kaum musyrik Makkah bergembira karena mempunyai keterikatan emosional sebagai sesama kaum musyrik.  Sebaliknya kaum Muslim lebih mengharapkan kemenangan Romawi karena Negara tersebut menganut agama Nasrani. Wahyupun turun merespon peristiwa ini sebagaimana tercatat dalam surah ar-Rum (30) ayat 1-5 Strategi politik Muhammad berbeda dengan pemimpin politik di masanya. Beliau tidak membangun kerajaan, melainkan sebuah Negara (state) dengan prinsip-prinsip baru yang berbeda dengan tradisi yang ada. Unsur Negara yang beliau fokuskan pertama kali adalah membentuk warga sebagai power-base.
Membentuk wilayah dalam periode Makkah tidak strategis dan sulit untuk dilakukan karena dominasi musyrikin yang begitu kuat. Beliau pernah bermaksud meminta suaka politik ke Thaif, tetapi menemui kegagalan karena penolakan penduduk di sana. Demi keselamatan warga (kaum muslim) dari tekanan kaum musyrik Quraisy, Muhammad SAW mengungsikan sejumlah sahabat ke negeri Habsyah (Etiopia) dua kali.
Membentuk suatu system pemerintahan yang baru di Mekah juga tidak memungkinkan. Masyarakat Quraisy sangat keras memegang adat kebiasaan yang sudah diwarisi secara turun temurun. Administrasi pemerintahan baru diciptakan pada periode Madinah. Jadi periode Makkah adalah sebagai pembentukan masyarakat warga tanpa mempunyai wilayah (land) dan pemerintahan (administration). Ajaran-ajaran Islam yang diturunkan pada periode ini juga lebih banyak tentang pembentukan karakter masyarakat yang berkeadaban(civilized society).
Setelah melaksanakan dakwah selama 10 tahun kepada penduduk Makkah dan tidak mendapat respon positif yang signifikan, Muhammad SAW mulai berdakwah kepada para jemaah haji yang berziarah ke Ka’bah selama musim-musim haji. Di antara para jemaah haji tersebut berasal dari Yatsrib, suatu daerah sebelah utara Makkah.[8]
Muhammad SAW telah cukup membentuk keimanan dan mental yang tangguh di antara pengikutnya. Hal ini perlu dilanjutkan dengan membentuk sebuah komunitas yang Islami dengan tatanan sosial yang lebih baik. Oleh karena itu masyarakat Muslim awal itu memerlukan suatu daerah yang mampu memberikan perlindungan bagi mereka sekaligus tempat untuk membentuk kawasan percontohan komunitas Muslim yang ideal.
Diceritakan, pada suatu musim haji, Muhammad SAW berdakwah kepada jemaah dari Yatsrib dan disambut dengan positif. Mereka berjanji akan datang lagi di musim haji berikutnya dan meminta Muhammad SAW mengirimklan salah seorang sahabatnya untuk mengajarkan Islam kepada penduduk Yatsrib. Muhammad SAW mengutus Mus’ab bin Umair sebagai duta Islam pertama dan ia cukup berhasil dalam menjalankan misinya. Pada tahun berikutnya penduduk Yatsrib datang dengan jumlah yang lebih banyak dan mengikrarkan janji setia kepada Muhammad SAW dan memintanya untuk pindah ke Yatsrib. 
Mereka bersedia membela Muhammad SAW dan sahabat-sahabatnya dengan jiwa dan harta mereka.Setelah mendapat izin dari Allah SWT, Muhammad SAW hijrah ke Yatsrib yang kemudian berganti nama menjadi Al-Madinah Al-Munawwarah (kota yang bercahaya). (Mubarok, Jaih, 2004: 29) Pergantian nama dari Yatsrib menjadi Madinah merupakan suatu keputusan politik yang tepat. Secara bahasa Madinah mempunyai akar kata dengan tamaddun (peradaban). Dengan demikian Madinah dapat diartikan sebagai sebuah tempat peradaban yang lazim diterjemahkan dengan kota. Penggunaan nama Madinah mengisyaratkan adanya visi politik menjadikan daerah tersebut sebagai salah satu pusat peradaban manusia yang baru.
Dengan demikian berakhirlah periode Makkah dan dimulailah periode Madinah. Dalam periode Makkah yang ditekankan adalah pembentukan karakter warga Negara yang akan didirikan. Sementara periode Madinah adalah peletakkan fondasi administrasi pemerintahan dan hal-hal kenegaraan lainnya, Hijrah bukan hanya bermakna menghindar dari siksaan, fitnah dan cacian belaka, namun juga merupakan suatu strategi untuk mendirikan masyarakat baru di dalam negeri yang aman. Peristiwa hijrah ini tercatat sebagai lembaran terpenting dalam peradaban Islam pada zaman nabi di Madinah, Nabi membuat perjanjian di antara suku-suku yang ada di Madinah dan menghasilkan konstitusi tertulis pertama dalam sejarah umat manusia yaitu piagam Madinah (The charter of Medina). 
Berdasarkan pasal pertama konstitusi tersebut, Nabi membentuk Ummah yang disepakati oleh empat macam komunitas : Yahudi, Nasrani, Anshor dan Muhajir yakni Negara persemakmuran. Masyarakat yang ditemui Rasulullah SAW di Madinah ada tiga golongan. Golongan-golongan tersebut adalah para shahabat, kaum Musyrik, dan orang-orang Yahudi. Setiap golongan memiliki kondisi yang berbeda dengan golongan lain. Beliau menghadapi berbagai masalah dari setiap golongan, dan masalah yang beliau hadapi dari setiap golongan tersebut tidak sama. 
Kaum Muslim sendiri terdiri dari dua golongan. Pertama, golongan Anshar, yaitu mereka yang berada di dalam negeri mereka sendiri bersama harta mereka. Mereka tidak memerlukan selain rasa aman setelah sejak lama terlibat konflik sesama mereka. Kedua, golongan Muhajirin, yang datang ke Madinah tanpa memiliki apa-apa. Mereka tidak memiliki tempat tinggal untuk berlindung, dan tidak memiliki pekerjaan untuk menyambung hidup. Jumlah mereka tidak sedikit, setiap hari terus bertambah sebab setiap orang yang beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya diizinkan untuk berhijrah dan menetap di Madinah.
Pada waktu itu Madinah bukanlah negeri yang kaya. Pertambahan jumlah penduduk yang mendadak sedikit banyaknya mengguncang perekonomian Madinah. Dalam kondisi yang kritis tersebut, berbagai kekuatan yang memusuhi Islam melakukan semacam embargo ekonomi sehingga persediaan (supply) barang berkurang dan keadaan pun semakin gawat. Dalam keadaan demikian, setidaknya ada dua hal yang dilakukan oleh Muhammad SAW sebagai pemimpin. 
o   Pertama, mengirimkan ekspedisi-ekspedisi kaum Muslim Muhajirin untuk menghadang dan menakut-nakuti kafilah dagang Makkah. 
o   Kedua, membuat kebijakan politik ekonomi yang berisikan aturan-aturan tentang perekonomian.Kemunculan komunitas Madinah berlangsung dalam beberapa tahap. Tahap pertama adalah konsolidasi internal umat dan komunitas Madinah. Tahap ini dimulai dengan usaha mempersatukan umat Islam yang terdiri atas berbagai suku, bani, dan kelompok yang berbeda-beda. Juga mengupayakan pengaturan hubungan antara kelompok Muslim dan Non-Muslim khususnya Yahudi, melalui penyusunan dan penandatanganan Piagam Madinah(IH/622M).
C.     Piagam Madinah : Darul Islam Dan Darul Harb
1.      Pengertian dan Sejarah Piagam Madinah
Piagam Madinah (bahasa Arab: صحیفة المدینه, shahifatul madinah) juga dikenal dengan sebutan Konstitusi Madinah, ialah sebuah dokumen yang disusun oleh Nabi Muhammad SAW, yang merupakan suatu perjanjian formal antara dirinya dengan semua suku-suku dan kaum-kaum penting di Yathrib (kemudian bernama Madinah) di tahun 622. Dokumen tersebut disusun sejelas-jelasnya dengan tujuan utama untuk menghentikan pertentangan sengit antara Bani 'Aus dan Bani Khazraj di Madinah. Untuk itu dokumen tersebut menetapkan sejumlah hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi kaum Muslim, kaum Yahudi, dan komunitas-komunitas pagan Madinah; sehingga membuat mereka menjadi suatu kesatuan komunitas, yang dalam bahasa Arab disebut ummah. 
Piagam Madinah

Piagam Madinah - Sebagaimana sudah diketahui, Islam tidak dapat dipisahkan dari politik. Batas antara ajaran Islam dengan persoalan politik sangat tipis. Sebab ajaran Islam mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk persoalan politik dan masalah ketatanegaraan. Peristiwa hijrah Nabi ke Yatsrib merupakan permulaan berdirinya pranata sosial politik dalam sejarah perkembangan Islam. Kedudukan Nabi di Yatsrib bukan saja sebagai pemimpin agama, tetapi juga kepala negara dan pemimpin pemerintahan. Kota Yatsrib dihuni oleh masyarakat yang multi etnis dengan keyakinan agama yang beragam.  Dalam piagam Madinah setiap kelompok menyepakati 5 perjanjian : 
1.      Tiap kelompok dijamin kebebasan dalam beragama
2.      Tiap kelompok berhak menghukum anggota kelompoknya yang bersalah
3.      Tiap kelompok harus saling membantu dalam mempertahankan Madinah baik yang muslim maupun yang non muslim
4.      Penduduk Madinah semuanya sepakat mengangkat Muhammad SAW sebagai pemimpinnya dan memberi keputusan hukum segala perkara yang dihadapkan kepadanya
5.      Meletakkan landasan berpolitik, ekonomi dan kemasyarakatan bagi negeri Madinah yang baru dibentuk. Sementara perekonomian Madinah dikuasai oleh orang Yahudi yang terkenal mahir dalam melakukan aktivitas perekonomian. Kebijakan tersebut di antaranya melarang riba, gharar, ihtikar, tadlis dan market inefficiency. Dasar berpolitik negeri Madinah adalah prinsip keadilan yang harus dijalankan kepada setiap penduduk tanpa pandang bulu. Dalam perinsip keadilan diakui adanya kesamaan derajat antara manusia yang satu dengan manusia yang lain, yang membedakan di antara mereka hanyalah taqwa kepada Allah. Yang lain adalah prinsip musyawarah untuk memecahkan segala persoalan dengan dalil al-Qur’an “ Dan bermusyawarahlah di antara mereka 
Peta sosiologis masyarakat Madinah itu secara garis besarnya terdiri atas :
1.      Orang-orang muhajirin, kaum muslimin yang hijrah dari Makkah ke Madinah.
2.      Kaum Anshar, yaitu orang-orang Islam pribumi Madinah.
3.      Orang-orang Yahudi yang secara garis besarnya terdiri atas beberapa kelompok suku seperti : Bani Qainuna, Bani Nadhir, dan Bani Quraizhah.
4.      Pemeluk “tradisi nenek moyang”, yaitu penganut paganisme atau penyembah berhala.
Pluralitas masyarakat Madinah tersebut tidak luput dari pengamatan Nabi. Beliau menyadari, tanpa adanya acuan bersama yang mengatur pola hidup masyarakat yang majemuk itu, konflik-konflik di antara berbagai golongan itu akan menjadi konflik terbuka dan pada suatu saat akan mengancam persatuan dan kesatuan kota Madinah. Hijrah Nabi ke Yatsrib disebabkan adanya permintaan para sesepuh Yatsrib dengan tujuan supaya Nabi dapat menyatukan masyarakat yang berselisih dan menjadi pemimpin yang diterima oleh semua golongan. Piagam ini disusun pada saat Beliau menjadi pemimpin pemerintahan di kota Madinah.
2.      Sejarah Terbentuknya Piagam Madinah
Piagam Madinah disepakati tidak lama sesudah umat muslim pindah ke Yatsrib yang waktu itu masih tinggi rasa kesukuannya. Oleh karena itu ada baiknya kita mengetahui motif apa yang menjadi latar belakang hijrahnya umat Muslim Mekkah ke Madinah yang waktu itu masih bernama Yatsrib. Hal ini penting untuk kita mengetahui mengapa agama Islam yang lahir di Mekkah itu justru malah kemudian dapat berkembang subur di  Madinah. Dan  kemudian mendapat kedudukan yang kuat setelah adanya persetujuan Piagam Madinah.[9]
Sebelum Nabi melaksanakan hijrah, Beliau banyak mendapat ancaman dari kafir Quraisy. Tidak hanya gangguan psikis yang Beliau alami, tapi juga diancam secara fisik. Bahkan beberapa kali diancam untuk dibunuh. Tapi Nabi selalu sabar dalam menghadapi gangguan-gangguan tersebut. Dasar yang dipakai Nabi dalam menghadapi gangguan kaum kafir Quraisy tersebut adalah surat Fushshilat ayat 34,
{وَلاَ تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلاَ السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ}
Artinya: 34.  Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, Maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah Telah menjadi teman yang sangat setia.
Kota Yatsrib mempunyai hubungan yang sangat erat dengan Nabi. Bukan saja karena Makkah dan Yatsrib sama-sama berada di propinsi Hijaz, tetapi juga beberapa faktor lain yang ikut menentukan, yaitu :
1.      Abdul Muthalib, kakek Nabi lahir dan dibesarkan di Madinah ini sebelum akhirnya menetap di Makkah. Apalagi hubungan kakek dan cucu ini sangat erat dan penuh kasih sayang. Maka hubungan kakek nabi yang erat dengan Madinah juga membawa bekasnya pada diri Nabi.
2.      Ayah Rasulullah, Abdullah ibn Abdul Muthalib wafat dan dimakamkan di Madinah. Nabi pernah ziarah ke sana bersama ibundanya. Ibunda Nabi wafat dalam perjalanan pulang dari ziarah tersebut. Dengan demikian Madinah bukan tempat yang asing bagi Nabi. Setidak-tidaknya Nabi pernah berhubungan dengan kota atau penduduk kota tersebut.
3.      Penduduk Madinah dari suku Arab bani Nadjar punya hubungan kekerabatan dengan Nabi. Kedatangan Nabi di Madinah disambut layaknya kerabat yang datang dari jauh, bukan orang asing.
4.      Sebagian besar penduduk kota Yatsrib punya mata pencaharian sebagai petani, di samping itu iklim di sana lebih menyenangkan dari pada kota Makkah. Untuk itu dapat dimaklumi bila penduduknya lebih ramah dibandingkan penduduk kota Makkah.
5.      Selain berbagai faktor di atas, juga khabar akan datangnya Rasul akhir jaman sudah di dengar orang-orang Yatsrib dari orang-orang Yahudi d Yatsrib. Mereka mengharap-harap dan menunggu-nunggu untuk mendapat kehormatan membantu agama ini.
Demikian beberapa faktor yang dapat kami kemukakan yang membantu diterimanya Nabi di Madinah dan mengapa Nabi memilih kota Yatsrib atau Madinah sebagai kota tempat tujuan Hijrahya, selain itu juga merupakan petunjuk Allah yang memberi jalan bagi terbukanya syiar agama Islam.
Sejak Nabi hijrah ke Madinah dan sesudah menetap di sana dan setelah masjid dan rumah beliau siap didirikan, tidak lain yang menjadi fikirannya adalah menyiarkan agama Islam, sebagai tujuan utama beliau. Sebagai seorang pemimpin, maka beliau merasa punya tanggung jawab besar terhadap diri dan pengikutnya. Beliau tidak saja harus giat menyiarkan agama Islam, tetapi juga sebagai seorang pemimpin tidak boleh membiarkan musuh-musuh dari dalam dan dari luar mengganggu kehidupan masyarakat muslim. Pada tahap ini beliau menghadapi tiga kesulitan utama :
1.      Bahaya dari kalangan Quraisy dan kaum Musyrik lainnya di Jazirah Arab.
2.      Kaum Yahudi yang tinggal di dalam dan di luar kota dan memiliki kekayaan dan sumberdaya yang amat besar.
3.      Perbedaan di antara sesama pendukungnya sendiri karena perbedaan lingkungan hidup mereka.
Dan karena perbedaan lingkungan hidup, maka kaum muslimin Anshar dan Muhajirin mempunyai latar belakang kultur dan pemikiran yang sangat berbeda. Hal ini masih di tambah lagi dengan permusuhan sengit yang telah terjadi selama 120 tahun lebih antara dua suku Anshar, yaitu Bani Aus dan Bani Khazraj. Sangat sulit bagi Nabi mengambil jalan tengah untuk mempersatukan mereka dalam kehidupan religius dan politik secara damai.
Tetapi akhirnya Nabi dapat mengatasi masalah tersebut secara damai dengan cara yang amat bijaksana. Mengenai masalah yang pertama dan kedua, beliau berhasil mengikat penduduk Madinah dalam suatu perjanjian yang saling menguntungkan yang akan di bahas nanti. Sedangkan untuk mengatasi masalah yang ketiga beliau berhasil memecahkannya dengan jalan keluar yang amat bijak dan sangat jenius.
Untuk mengatasi adanya perbedaan di antara kaum muslimin, maka Nabi mempersaudarakan di antara mereka layaknya saudara kandungan yang saling pusaka mempusakai. Jika salah satu dari kedua bersaudara yang baru dipersatukan tersebut wafat, maka saudara angkatnya berhak atas seperenam harta warisannya. Perlu diketahui hukum waris sebagaimana kita kenal sekarang belum berlaku saat itu.
Selama beberapa minggu di Madinah, Rasul menelaah situasi kota Madinah dengan mempelajari keadaan politik, ekonomi, sosial dan sebagainya. Beliau berusaha mencari jalan bagaimana agar penduduk asli dan kaum muhajirin dapat hidup berdampingan dengan aman. Untuk mengatasi kesulitan yang pertama dan kedua Nabi Muhammad membuat suatu perjanjian dengan penduduk Madinah baik Muslimin, Yahudi ataupun musyrikin.
Dalam perjanjian itu ditetapkan tugas dan kewajiban Kaum Yahudi dan Musyrikin Madinah terhadap Daulah Islamiyah di samping mengakui kebebasan mereka beragama dan memiliki harta kekayaannya. Dokumen politik, ekonomi, sosial dan militer bagi segenap penduduk Madinah, baik Muslimin, Musyrikin, maupun Yahudinya.
Secara garis besar perjanjian itu memuat isi sebagai berikut :
a.      Bidang ekonomi dan social
Keharusan orang kaya membantu dan membayar utang orang miskin, kewajiban memelihara kehormatan jiwa dan harta bagi segenap penduduk, mengakui kebebasan beragama dan melahirkan pendapat, menyatakan kepastian pelaksanaan hukum bagi siapa saja yang bersalah, dan tidak ada perbedaan antara siapapun di depan pengadilan.
b.      Bidang militer
Antara lain menggariskan kepemimpinan Muhammad bagi segenap penduduk Madinah, baik Muslimin, Yahudi ataupun Musyrikin, segala urusan berada di dalam kekuasaannya. Beliaulah yang menyelesaikan segala perselisihan antara warga negara. Dengan demikian jadilah beliau sebagai Qaaid Aam (panglima tertinggi) di Madinah. Keharusan bergotong royong melawan musuh sehingga bangsa Madinah merupakan satu barisan menuju tujuan. 
3.      Arti Penting Piagam Madinah
Piagam Madinah itu mempunyai arti tersendiri bagi semua penduduk Madinah:
1.      Diakui Nabi Muhammad sebagai pemimpin yang mempunyai kekuasaan politis. Bila terjadi sengketa di antara penduduk Madinah maka keputusannya harus dikembalikan kepada keputusan Allah dan kebijaksanaan Rasul-Nya. Pasal ini menetapkan wewenang pada Nabi untuk menengahi dan memutuskan segala perbedaan pendapat dan permusuhan yang timbul di antara mereka. Hal ini tercermin di dalam Baitul Aqabah I dan II yang mengakui Muhammad sebagai pemimpin mereka dan mengharapkan peranannya di dalam mempersatukan Madinah.[10]
2.      Memantapkan eksistensi kedudukan kaum muslimin di Madinah. Bersatunya penduduk Madinah di dalam suatu kesatuan politik membuat keamanan mereka lebih terjamin dari gangguan kaum kafir Quraisy. Suasana yang lebih aman membuat mereka lebih berkonsentrasi untuk mendakwahkan Islam. Terbukti Islam berkembang subur di Madinah ini.
3.      Menciptakan suasana baru dengan ciri utama:
ü  Menghilangkan atau memperkecil pertentangan antar suku.
ü  Kebebasan beragama telah mendapatkan jaminan bagi semua golongan.
ü  adanya kerjasama dan persamaan hak dan kewajiban semua golongan dalam kehidupan sosial politik di dalam mewujudkan pertahanan dan perdamaian.
4.      Mengubah eksistensi orang-orang mukmin dan yang lainnya dari sekedar kumpulan manusia menjadi masyarakat politik, yaitu suatu masyarakat yang memiliki kedaulatan dan otoritas politik dalam wilayah Madinah sebagai tempat mereka hidup bersama, bekerjasama dalam kebaikan atas dasar kesadaran sosial mereka, yang bebas dari pengaruh dan penguasaan masyarakat lain dan mampu mewujudkan kehendak mereka sendiri.
Dengan demikian, pembentukan Negara dalam sejarah islam dimulai ketika nabi mengatur masyarakat madinah secara kontitusional setelah hijrah dari Makah ke Madinah. Menurut ilmu politik modern system pemerintahan Nabi sudah memenuhi syarat-syarat nominal untuk disebut sebagai Negara yaitu adanya penduduk, wilayah,pemerintah, dan kedaulatan.[11]




3.     Darul Islam dan Darul Harb
Konsep tentang pembagian wilayah menjadi dar al-Islam, dar al-harb dan dar al-shulh merupakan hasil ijtihad dari para fuqaha’ yang dipengaruhi oleh suasana politik. Yakni ketika kaum musyrikin Makkah, kaum musyrikin Jazirah Arab sampai pula kaum musyrikin Persia dan Romawi telah serentak memaklumkan perang terhadap Islam. Sedangkan orang Islam dalam keadaan selalu membela diri, sehingga ada dua kekuatan yang selalu berhadap-hadapan, yakni kekuatan Islam dan kekuatan musuh-musuhnya. Dalam realitanya, konsep tentang dar al-Islam dapat dilihat dalam kasus India dan Indonesia yang meskipun secara tegas menyatakan bahwa konstitusi negara tidak berdasarkan Islam, namun karena negara memberi kebebasan pada warganya untuk menjalankan ajaran agamanya, maka negara tersebut dapat dianggap sebagai dar al-Islam. Sedangkan untuk dar al-harb dapat dilihat pada kasus negara Persia dan Romawi pada masa awal perkembangan Islam. Dalam perspektif teori, konsep dar al-Islam, dar al-harb dan dar al-shulh dapat dibaca dengan “teori perang” dan “teori perdamaian”.[12]
Para ahli hukum, ulama dan sejarawan Muslim telah menyajikan dua teori tentang hubungan negara Islam dengan negara-negara non- Islam, yakni teori yang berorientasi perang dan teori yang berorientasi perdamaian.  Teori yang pertama, jihad atau perang suci dianggap sebagai satu-satunya bentuk hubungan yang dapat  diterima antara orang-orang Muslim dan non Muslim. Dengan demikian maka dunia terbagi manjadi dua: kawasan Islam (dar al-Islam) dan kawasan perang (dar al-harb)[13]
Perumus teori ini melihat adanya cukup alasan dalam hakikat Islam yang universal dan kandungan ayat-ayat tertentu (terutama 9: 5 dan   2: 216) untuk membenarkan umat Islam terus ber-jihad melawan “orang- orang kafir” sampai mereka bersedia memeluk agama Islam. Secara teoritis, perdamaian abadi antara  wilayah Islam dan kawasan perang tidak diizinkan. “Hanya  konklusi  gencatan senjata yang mungkin ada dan inipun semata-mata berlaku untuk satu, dua atau menurut salah satu mazhab paling lama adalah sepuluh tahun”. Khadduri mengakui bahwa di samping jihad, umat Islam  menggunakan metode negosiasi, arbitrase dan perjanjian damai dalam hubungan mereka dengan orang-orang yang tidak beriman.
Salah satu kewajiban utama khalifah adalah menjaga batas batas geografis yang memisahkan antara dar al-Islam ( wilayah Negeri  Islam) dengan dar alharb ( wilayah kafir), menurut  Philip K.Hitti diisistilahkan dengan pemisahan dunia dalan zona damai dan zona perang[14]
.Daftar Kepustakaan

1.      Abdullah Haidir, Sejarah Hidup dan perjuangan Rasulullah disarikan dari kitab Arrahiqul Maktum fisirrah Annabawiyah, Syeikh Shafirurahman Mubarakfurry( Surabaya.Pustaka eLBA:2009)cet I
2.      Abu Abd Fattah Ali Ben Haj & Muhammad Iqbal, Negara Ideal Menurut Islam( Jakarta,Ladang Pustaka &intimedia:2002)
3.      Afzalur Rahman,Muhammad sang Panglima Perang,(Yogyakarta,Tajidu Press,2002)cet I
4.      Ahmad Muhtadi Anshor ,Dar Al-Islam, Dar Al-Harb, Dar Al-Shulh(Epistemé, Vol. 8, No. 1, Juni 2013)
5.      Akbar S.Ahmed,Rekonstruksi Sejarah Islam ditengah Pluralitas Agama dan peradaban,(Yogyakarta, Fajar Pustaka Baru,:2003) cet kedua 2003.
6.      Dr.Efrinaldi,MAg.Fikih Siyasah,Dasar-dasar Pemikiran politik Islam,(Jakarta,Granada Press:2007) Cet I
7.      Drs.Beni Ahmad Saebani,M.Si, Fikih Siyasah pengantar Ilmu Politik Islam,( Bandung,Pustaka Setia :2007)
8.      M.Solly Lubis,Ilmu Negara,(Medan:Mandar Maju,1990)
9.      Miriam Budiharjo,Opcit,hal 42-44,Wirjono Projodikoro, Asas-asas Ilmu Negara dan politik,(bandung:PT Eresco,1981)
10.  O.Hashem,Muhammad Sang Nabi penelusuran Sejarah Nabi Muhammad secara Detail,(Jakarta,Ufuk Press:2007)Cet ke II.
11.  Philip K. Hitti, History of the Arabs, diterjemah RCecep Lukman dkk(Jakarta:PT Serambi Ilmu semesta:2006 cet II.


[1]Philip K. Hitti, History of the Arabs, diterjemah RCecep Lukman dkk(Jakarta:PT Serambi Ilmu semesta:2006 cet II.hal145-150.Selanjutnya History of the Arabs
[2] Akbar S.Ahmed,Rekonstruksi Sejarah Islam ditengah Pluralitas Agama dan peradaban,(Yogyakarta, Fajar Pustaka Baru,:2003) cet kedua 2003. hal 28-30
[3] Abdullah Haidir, Sejarah Hidup dan perjuangan Rasulullah disarikan dari kitab Arrahiqul Maktum fisirrah Annabawiyah, Syeikh Shafirurahman Mubarakfurry( Surabaya.Pustaka eLBA:2009)hal 81
[4] O.Hashem,Muhammad Sang Nabi penelusuran Sejarah Nabi Muhammad secara Detail,(Jakarta,Ufuk Press:2007)Cet ke II hal177
[5] [342]  yang dimaksud dengan orang yang menganiaya diri sendiri di sini, ialah orang-orang muslimin Mekah yang tidak mau hijrah bersama nabi sedangkan mereka sanggup. mereka ditindas dan dipaksa oleh orang-orang kafir ikut bersama mereka pergi ke perang Badar; akhirnya di antara mereka ada yang terbunuh dalam peperangan itu.
[6] Dr. Udin Kamiluddin, Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Syekh Nurjati Cirebon
[7] Dr.Efrinaldi,MAg.Fikih Siyasah,Dasar-dasar Pemikiran politik Islam,(Jakarta,Granada Press:2007) Cet I. hal 44.
[8] History of the Arabs,hal 145.
[9] Drs.Beni Ahmad Saebani,M.Si, Fikih Siyasah pengantar Ilmu Politik Islam,( Bandung,Pustaka Setia :2007)hal.182-194
[10] Afzalur Rahman,Muhammad sang Panglima Perang,(Yogyakarta,Tajidu Press,2002)cet Ihal. 26-27
[11] Miriam Budiharjo,Opcit,hal 42-44,Wirjono Projodikoro, Asas-asas Ilmu Negara dan politik,(bandung:PT Eresco,1981) hal 13 dan M.Solly Lubis,Ilmu Negara,(Medan:Mandar Maju,1990) hal 2. [11] Dr.Efrinaldi,MAg.Fikih Siyasah,Dasar-dasar Pemikiran politik Islam,(Jakarta,Granada Press:2007) Cet I. hal 47

[12] Ahmad Muhtadi Anshor ,Dar Al-Islam, Dar Al-Harb, Dar Al-Shulh(Epistemé, Vol. 8, No. 1, Juni 2013)

[13] Khalid Ibrahim Jindan, Teori Politik Islam: Telaah Kritis Ibnu Taimiyah tentang Pemikiran Islam, terj. Masrohin (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), h. 131.
[14] History of Arabs,hal 171

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PASAMBAHAN MAKAN BUKITTINGGI

PIdato Pendek " Man Jadda Wajada "