HIJRAH
Kehadiran bulan Muharram
bagi umat Islam merupakan momentum penting sebagai awal tahun baru dalam
kelender Islam. Sejak ditetapkannya oleh khalifah Umar bin Khattab, umat Islam
seantero dunia memperingatinya sebagai tahun baru, sekaligus medium melakukan
introspeksi atas aktivitas ibadah dan keimanannya pada tahun sebelumnya, bahkan
menyiapkan upaya peningkatan kualitas ibadah, keimanan serta ketaqwaaannya
untuk tahun mendatang.
Peristiwa-peristiwa besar
yang patut direfleksikan kembali dalam bulan Muharram yang terekam secara
tersurat dalam sejarah Islam yakni, Nabi Adam AS bertemu dengan Hawa pasca
dieksekusi dari surga ke bumi. Peristiwa besar lainnya adalah, Nabi Nuh AS
mendarat perahunya setelah dilanda banjir bah maha dahsyat, demikian juga nabi
Ibrahim AS selamat dari kobaran api saat dibakar pasukan Namrudz.
Pada masa yang sama juga,
Nabi Musa AS terselamatkan dari kejaran bala tentara Firaun dengan menyeberangi
laut merah. Kemudian paling monumental adalah peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad
SAW dari Mekkah menuju Madinah.
Bahkan peristiwa
hijrahnya nabi tersebut, oleh khalifah Umar bin Khattab, dijadikan sebagai awal
tahun baru dalam kalender Islam. Perhitungan tahun Islam atas prakarsa Khalifah
Umar tersebut yang dipopulerkan sebagai tahun hijriyah yang penetapannya sejak
rasul hijrah pada tahun 622 Masehi.
Kebijakan khalifah itu
merupakan momentum sebagai awal tahun Islam. Di antara alasan penetapa tersebut
adalah hijrah merupakan pemisahan periode Mekkah dan Madinah.
Secara historis, umat
Islam pada periode awal di Mekkah mengalami pengebirian dan penyiksaan dari
kaum kafir atas prakarsa Abu Jahal dan Abu Lahab. Bagi nabi dan sahabatnya,
periode Mekkah pra hijrah merupakan ujian terberat dari langkah awal
mendakwahkan Islam sebagi ajaran yang benar yang banyak ditantang kaum kafir
jahiliyah.
Untuk melepaskan dari
hegemoni kaum jahiliyah Mekkah itu, nabi memutuskan untuk hijrah atas petunjuk
Allah dengan meninggalkan kampung kelahiran, harta dan keluarga yang
dicintainya dengan berjalan kaki tidak kurang dari 500 Km menuju Madinah.
Pasca hijrahnya nabi
bersama sahabat ke Madinah merupakan awal pencerahan dan perubahan nasib umat
Islam. Sebab selama di Mekkah, umat Islam yang masih minoritas ditindas dan
dimusihi, sebaliknya di Madinah justru mendapatkan perlakuan cukup baik dari
kaum Anshar.
Dalam hal ini, peristiwa
hijrah nabi sejatinya dimaknai sebagai bagian terpenting dalam sejarah Islam,
yakni tonggak awal kebangkitan Islam.
Di Madinah secara
bersama-sama dengan sahabatnya, nabi mulai membangun peradaban Islam yang
selama ini banyak diadopsi sebagai masyarakat madani. Yakni, sebuah tatanan
kehidupan masyarakat dibangun dan diwujudkan sesuai internalisasi ajaran Islam
yang diprakarsai nabi.
Selain itu, hijrah nabi
juga merupakan pemisah antara periode Mekkah yang terkungkung dari kaum
jahiliyah beralih ke Madinah yang justru menjadi negeri pembebasan sekaligus mencerminkan
heteronitas umat baik muslim maupun non muslim hidup selaras dengan merujuk
pada piagam Madinah.
Momentum hijrah yang
menjadi awal kebangkitan peradaban Islam yang menyejarah. Nabi menancapkan
pilar peradaban Islam di Madinah sebagai tonggak perjuangan umat paling
strategis.
Dalam konteks lebih luas,
perintah hijrah bukan hanya secara seremonial bagi nabi, tetapi menjadi medium
pembelajaran bagi umat Islam untuk melakukan perubahan. Baik perubahan fisik
maupun non fisik seperti perubahan mental dan prilaku yang lebih baik dan
terpuji.
Usaha-usaha untuk
melakukan perbaikan, terutama untuk memperbaiki kualitas individual maupun
kualitas kolektif anak bangsa. Keterbelakangan umat manusia harus disikapi
lebih arif dengan melakukan hijrah individual dengan membenahi kepribadian
menuju perbaikan moral keluarga dan masyrakat-bangsa.
Makna HIJRAH
Setiap tahun umat Islam
menyambut tahun hijriyah, hijrah dimaknai lebih luas yakni, kita harus hijrah
nilai, misalnya hijrah dari nilai budaya yang buruk menuju nilai budaya yang
Islami. Dalam pengertian ini, ghirah atau semangat hijrah yang patut
diimplementasikan sekarang ini, bukan lagi dalam pengertian fisik, tetapi
hijrah secara kontekstual dengan meninggalkan segala peradaban atau nilai-nilai
yang tidak baik dan tidak urgen menuju peradaban yang lebih baik yang diridhai
Allah dan dapat diterima umat manusia pada umumnya.
Menyingkapi kondisi
sekarang, perilaku yang menyimpang yang dilakukan baik prilaku masyarakat biasa
dengan pelbagai kejahatan dan kriminalitas yang telah mencerminkan kehidupan
penuh kekerasan, sepatutnya ditinggalkan dengan berhijrah kepada kehidupan yang
lebih baik.
Demikian halnya dengan
pola kehidupan pejabat yang banyak melakukan penyimpangan atas amanah rakyat.
Seperti melakukan korupsi atau perbuatan mungkar lainnya sebagai fenomena fasad
berupa pengrusakan dimuka bumi tanpa kontrol, maka idealnya mereka berhijrah
dari perilaku tersebut menuju ke jalan yang baik dengan mengembang amanah dan
kepercayaan rakyat dengan penuh tanggung jawab.
Artinya, pada saatnya
untuk melakukan hijrah menuju pada internalisasi nilai-nilai Islami.
Ravitalisasi makna hijrah
yang dikontekstualkan dalam kehidupan sekarang ini, menjadi keniscayaan dengan
mengubah sistem seperti yang dilakukan nabi pasca hijrah dari Mekkah ke
Madinah. Yakni membangun peradaban masyarakat madani dengan sistem yang tertib,
setiap orang mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan membangun sistem
sosial berupa mempersamakan orang-orang yang beragam suku dan agama dalam
masyarakat Madina tersebut.
Proses hijrahnya nabi
dari Mekkah ke Madinah menyiratkan multiinterpretasi yang sepatutnya
diaktualisasikan dalam konteks kekinian dan kedisinian. Penulis mengurai makna
filosofis dan aplikasi hijrah tersebut dalam beberapa pemahaman yakni, pertama,
hijrah sepatutnya dimaknai sebagai ikhtiar untuk hijrah dari keterbelakangan
menuju ke kondisi lebih maju dan dinamis.
Keterbelakangan dalam
konten tersebut melingkupi keterbelakangan secara individual atau keterbatasan
SDM, demikian juga keterbelakangan kolektif. Dalam hal ini, keterbelakangan
negara-bangsa dalam mensejehterakan masyarakatnya menuju kehidupan yang lebih
layak dan sejahtera.
Kedua, hijrah secara
universal dapat ditafsirkan sebagai proses perubahan atau berhijrah dari sistem
otoriter, era keterkungkungan menuju ke era keterbukaan dan pembebasan.
Melepaskan diri dari hegemoni tersebut menuju perubahan yang memberi ruang
untuk berekspresi dalam meraih kebebasan dan pembebasan, termasuk keluar dari
kungkungan rezim yang menindas.
Ketiga, dimensi hijrah
dari kejahiliaan menuju ke arah pencerahan juga menjadi makna dari hijrah itu
sendiri. Melakukan rekonstruksi pendidikan dengan sistem yang lebih baik dan
efesien sebagai upaya melahirkan sumber daya yang potensial masa mendatang demi
kemaslahatan bangsa, menjadi keniscayaan.
Demikian beberapa
interpretasi dan makna hijrah sebagai revitalisasi dengan konteks kekinian. Hal
ini sejatinya seorang Muslim menjadikan bulan Muharram yang setiap tahunnya
diperingati untuk membangun keshalehan individual dan sosialnya. Sekaligus guna
mengimplementasikan diri sebagi bagian Islam yang rahmatan lil alamin, yang
mengurai kedamaian dalam seluruh dimensi dan lini kehidupan duniawinya sebagai
bekal menuju perjalanan akhiratnya yang abadi.
Menyambut tahun baru
Islam, 1 Muharram 1431 H, menjadi momentum bagi umat Islam untuk melakukan
interospeksi secara kolektif, guna melakukan perubahan dari keadaan yang kurang
baik menjadi lebih baik sebagai revitalisasi hijrah. Meningkatkan spritualitas
dan kesadaran keagamaan menjadi keniscayaan umat Islam Indonesia, terutama
ketika bangsa ini dihadapkan dengan berbagai musibah yang sepatutnya
direnungkan sebagai momentum menguji kualitas keimanan dan keberislamannya dan
patut direnungi untuk diambil hikmahnya.
Sebagai umat Islam, dalam
menyambut Tahun Baru Islam, kita harus merefleksikan dan mengaktualisasikan
nilai-nilai yang terkandung dalam perjalanan hijrah nabi secara kontekstual,
yakni hijrah dari nilai-nilai yang buruk menuju penciptaan nilai yang lebih
baik.
Tahun hijriyah ini
sepatutnya umat Islam baik secara personal maupun kolektif seperti yang
tergabung dalam ormas Islam seperti NU dan Muhammadiyah serta yang lainnya,
menjadikan hijrah merupakan momentum memasuki tahun baru untuk melakukan
perbaikan dalam kehidupan sosial menuju perbaikan sistem demi kebaikan dan
kemaslahatan umat yang lebih luas, merubah sistem yang tiranik, fasad dan
menindas.
Untuk itu, upaya
merevitalisasikan makna hijrah dapat diartikulasikan dalam kehidupan personal,
keluarga, sosial kemasyarakatan dan bernegara secara sinergis. Bahkan kini
saatnya bangsa ini berhijrah menuju sistem yang lebih arif dengan sistem yang
demokratis guna mewujudkan kehidupan keadilan sosial bagi masyarakat luas.
Kearifan memaknai hijrah
dengan melakukan transformasi ke arah yang lebih baik dari sebelumnya, termasuk
didalamnya keberanian untuk melakukan rekayasa sosial dengan berbagai varian
inovasinya. Dengan begitu, setiap kita sebagai insan beradab melakukan
perbaikan dalam pelbagai lini kehidupan sebagai cerminan semangat hijrah dan
menyambut tahun baru Islam dengan membuka lembaran baru yang lebih baik di
hari-hari mendatang
hasil resume kuliah
bersama DR. Qurais Syihab
Sebagian orang awam, termasuk saya, apa yang kita pahami sebagai hijrah adalah sebuah kegiatan pindahnya Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah dengan tujuan mempertahankan akidah islam. Namun, ternyata, terdapat hal-hal lain seputar Hijrah yang juga mencirikan makna hijrah.
Menurut DR. Quraish Shihab (pengarang tafsir Al-Mishbah), terdapat empat poin seputar hijrah:
1.)
kata "Hijrah", digunakan untuk mengistilahkan perpindahan suatu kaum/individu dari satu hal yang sifatnya buruk kepada hal lain yang sifatnya baik. Pengertian ini berlaku kepada kegiatan pindah tempat maupun pindah kelakuan. Contoh hijrah yang paling populer adalah peristiwa Hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah. contoh lainnya adalah taubatnya seseorang. Jika seseorang telah bertaubat, dengan taubat nasuha, ini pun dikategorikan kepada kegiatan hijrah, berpindah dari suatu kondisi buruk kepada kondisi yang baik.
2.)
Alqur'an telah berjanji untuk memberikan kelapangan bagi siapapun yang berhijrah. namun, kelapangan yang akan diberikan Allah hanya berlaku bagi orang yang secara sungguh-sungguh melaksanakan Hijrah.
3.)
Sebelum hijrahnya Nabi SAW, Nabi-Nabi sebelum Nabi Muhammad pun melaksanakan Hijrah. Misalnya, Hijrahnya Nabi Musa AS beserta kaumnya dari Mesir ke Palestina. Namun, hasil dari hijrahnya Nabi-Nabi terdahulu berbeda satu sama lain. Hal ini disebabkan oleh perbedaan usaha yang dilakukan oleh masing-masing Nabi. Hijrahnya Nabi Muhammad dilakukan dengan perencanaan yang matang, dan dilakukan secara sembunyi-sembunyi serta bertahap. Nabi Muhammad, sebagai pemimpin, justru yang terakhir berangkat hijrah. Beliau berangkat ke Madinah bersama sahabatnya, Abu Bakar As-Siddiq. Meskipun mengalami berbagai rintangan, Nabi Muhammad tidak gentar sedikitpun. Bahkan, ketika mereka berdua bersembunyi di gua, Nabi Muhammad menenangkan Abu Bakar dengan berkata : "Sesungguhnya Allah Bersama Kita". Dan buah dari perencanaan serta kebersamaan yang tercermin dari ucapan beliau "Sesungguhnya Allah Bersama Kita", hijrah Nabi berjalan sukses.
4.)
Point yang cukup penting dalam berhijrah adalah usaha maksimal yang dilakukan. ketika kita sudah bertekad untuk berhijrah, maka sepantasnyalah kita berusaha dengan sungguh-sungguh dalam menjalankan hijrah itu. Setelah kita telah berusaha dengan sungguh-sungguh, maka Allah akan membantu kita dalam menjalani hijrah kita. Contoh nyatanya terdapat pada hijrah Nabi Muhammad bersama Abu Bakar dari Mekkah ke Madinah. Seperti yang sudah saya utarakan sebelumnya, hijrah Nabi SAW dilaksanakan dengan perencanaan yang matang serta usaha yang maksimal. Ketika dikejar kaum kafir, Nabi SAW bersama Abu Bakar terpaksa bersembunyi di dalam gua. Saat itu, keadaan mereka sungguh terjepit dan tidak ada usaha lain yang dapat dilakukan selain bersembunyi. Di dalam gua, Abu Bakar menangis karena khawatir akan keselamatan Nabi yang terancam. Namun, tidak ada hal lain yang perlu ditakutkan karena Nabi telah berusaha dan bertawakkal kepada Allah. Tanpa diduga, seekor laba-laba membuat sarang dengan cepat di pintu masuk gua. Inilah pertolongan Allah bagi hamba-hambaNya yang telah berusaha. Adanya sarang laba-laba di pintu masuk gua akan mengelabui orang yang datang bahwasanya tidak mungkin ada orang di dalam gua. Pertolongan-pertolongan gaib semacam ini akan muncul jika kita memang telah berusaha secara sungguh-sungguh dalam berhijrah.
Perlu kita sadari pula, bahwa keberhasilan kita dalam berhijrah ditentukan pula oleh seberapa sesuainya diri kita kepada sistem hijrah yang kita jalani. Misalnya, ketika kita berhijrah untuk tidak merokok. Kita akan berhasil apabila kita melaksanakan sistem hijrah itu dengan baik. Sistem yang berlaku pada kasus ini adalah seberapa patuhnya kita untuk tetap menahan diri dari merokok. Jika dalam menjalani hijrah untuk tidak merokok kita masih saja "mencuri-curi" rokok, artinya kita telah melanggar sistem hijrah yang ada. Tentunya, hasilnya pun akan percuma.
Sebagian orang awam, termasuk saya, apa yang kita pahami sebagai hijrah adalah sebuah kegiatan pindahnya Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah dengan tujuan mempertahankan akidah islam. Namun, ternyata, terdapat hal-hal lain seputar Hijrah yang juga mencirikan makna hijrah.
Menurut DR. Quraish Shihab (pengarang tafsir Al-Mishbah), terdapat empat poin seputar hijrah:
1.)
kata "Hijrah", digunakan untuk mengistilahkan perpindahan suatu kaum/individu dari satu hal yang sifatnya buruk kepada hal lain yang sifatnya baik. Pengertian ini berlaku kepada kegiatan pindah tempat maupun pindah kelakuan. Contoh hijrah yang paling populer adalah peristiwa Hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah. contoh lainnya adalah taubatnya seseorang. Jika seseorang telah bertaubat, dengan taubat nasuha, ini pun dikategorikan kepada kegiatan hijrah, berpindah dari suatu kondisi buruk kepada kondisi yang baik.
2.)
Alqur'an telah berjanji untuk memberikan kelapangan bagi siapapun yang berhijrah. namun, kelapangan yang akan diberikan Allah hanya berlaku bagi orang yang secara sungguh-sungguh melaksanakan Hijrah.
3.)
Sebelum hijrahnya Nabi SAW, Nabi-Nabi sebelum Nabi Muhammad pun melaksanakan Hijrah. Misalnya, Hijrahnya Nabi Musa AS beserta kaumnya dari Mesir ke Palestina. Namun, hasil dari hijrahnya Nabi-Nabi terdahulu berbeda satu sama lain. Hal ini disebabkan oleh perbedaan usaha yang dilakukan oleh masing-masing Nabi. Hijrahnya Nabi Muhammad dilakukan dengan perencanaan yang matang, dan dilakukan secara sembunyi-sembunyi serta bertahap. Nabi Muhammad, sebagai pemimpin, justru yang terakhir berangkat hijrah. Beliau berangkat ke Madinah bersama sahabatnya, Abu Bakar As-Siddiq. Meskipun mengalami berbagai rintangan, Nabi Muhammad tidak gentar sedikitpun. Bahkan, ketika mereka berdua bersembunyi di gua, Nabi Muhammad menenangkan Abu Bakar dengan berkata : "Sesungguhnya Allah Bersama Kita". Dan buah dari perencanaan serta kebersamaan yang tercermin dari ucapan beliau "Sesungguhnya Allah Bersama Kita", hijrah Nabi berjalan sukses.
4.)
Point yang cukup penting dalam berhijrah adalah usaha maksimal yang dilakukan. ketika kita sudah bertekad untuk berhijrah, maka sepantasnyalah kita berusaha dengan sungguh-sungguh dalam menjalankan hijrah itu. Setelah kita telah berusaha dengan sungguh-sungguh, maka Allah akan membantu kita dalam menjalani hijrah kita. Contoh nyatanya terdapat pada hijrah Nabi Muhammad bersama Abu Bakar dari Mekkah ke Madinah. Seperti yang sudah saya utarakan sebelumnya, hijrah Nabi SAW dilaksanakan dengan perencanaan yang matang serta usaha yang maksimal. Ketika dikejar kaum kafir, Nabi SAW bersama Abu Bakar terpaksa bersembunyi di dalam gua. Saat itu, keadaan mereka sungguh terjepit dan tidak ada usaha lain yang dapat dilakukan selain bersembunyi. Di dalam gua, Abu Bakar menangis karena khawatir akan keselamatan Nabi yang terancam. Namun, tidak ada hal lain yang perlu ditakutkan karena Nabi telah berusaha dan bertawakkal kepada Allah. Tanpa diduga, seekor laba-laba membuat sarang dengan cepat di pintu masuk gua. Inilah pertolongan Allah bagi hamba-hambaNya yang telah berusaha. Adanya sarang laba-laba di pintu masuk gua akan mengelabui orang yang datang bahwasanya tidak mungkin ada orang di dalam gua. Pertolongan-pertolongan gaib semacam ini akan muncul jika kita memang telah berusaha secara sungguh-sungguh dalam berhijrah.
Perlu kita sadari pula, bahwa keberhasilan kita dalam berhijrah ditentukan pula oleh seberapa sesuainya diri kita kepada sistem hijrah yang kita jalani. Misalnya, ketika kita berhijrah untuk tidak merokok. Kita akan berhasil apabila kita melaksanakan sistem hijrah itu dengan baik. Sistem yang berlaku pada kasus ini adalah seberapa patuhnya kita untuk tetap menahan diri dari merokok. Jika dalam menjalani hijrah untuk tidak merokok kita masih saja "mencuri-curi" rokok, artinya kita telah melanggar sistem hijrah yang ada. Tentunya, hasilnya pun akan percuma.
IJRAH : MOMENTUM KEBANGKITAN ISLAM
Oleh : KHOIRURRIJAL, S.Ag, M.A.
Tidak terasa, bulan demi bulan, tahun demi tahun-pun telah berlalu begitu cepatnya. Kaum Muslim kembali memasuki Tahun baru 1430 Hijriah.
Di Tanah
Air, dalam beberapa tahun belakangan ini, Tahun Baru Hijriah acapkali
diperingati oleh kaum Muslim, menandingi Tahun Baru Masehi yang sudah biasa
diperingati secara semarak. Jadilah Tahun Baru Hijriah diisi dengan berbagai
kegiatan keislaman yang tak kalah 'semarak'; mulai dari sekadar melakukan
'Malam Muhasabah' hingga menyelenggarakan 'Festival Muharram' yang antara lain
diisi dengan nyanyian (nasyid) dan musik islami. Semua itu dilakukan oleh kaum
Muslim dalam rangka menumbuhkan kecintaan mereka terhadap penanggalan tahun
Islam, yakni Tahun Hijriah.
.
Definisi Hijrah
Secara
literal, kata al-hijrah merupakan isim (kata benda) dari fi'il hajara, yang
bermakna dlidd al-washl (lawan dari tetap atau sama). Bila dinyatakan
"al-muhajirah min ardl ila ardl" (berhijrah dari satu negeri ke
negeri lain); maknanya adalah "tark al-ulaa li al-tsaaniyyah"
(meninggalkan negeri pertama menuju ke negeri yang kedua). [Imam al-Raziy,
Mukhtaar al-Shihaah, hal. 690; Imam Qurthubiy, Tafsir al-Qurthubiy, juz 3,
hal.48].
Menurut
istilah umum, al-hijrah bermakna berpindah (al-intiqaal) dari satu tempat atau
keadaan ke tempat atau keadaan lain, dan tujuannya adalah meninggalkan yang
pertama menuju yang kedua. Adapun konotasi hijrah menurut istilah khusus adalah
meninggalkan negeri kufur (daar al-Kufr), lalu berpindah menuju negeri Islam
(daar al-Islam). [Al-Jurjaniy, al-Ta'rifaat, juz 1, hal 83]. Pengertian
terakhir ini juga merupakan definisi syar'iy dari kata al-hijrah.
Memaknai Tahun Baru Hijriah
Tahun Hijriah dalam sejarahnya bertitik tolak dari
peristiwa hijrah Nabi Muhammad saw. dari Makkah ke Madinah. Para ulama memahami
bahwa Hijrah Nabi saw. itu merupakan satu titik baru pengembangan dakwah menuju
kondisi masyarakat yang lebih baik. Sebab, selama berdakwah di Makkah,
Rasulullah saw. banyak mengalami kendala berupa tantangan dan ancaman dari
masyarakatnya sendiri, kaum kafir Quraisy. Kondisi buruk itu terus berlangsung
selama kurun waktu 13 tahun sejak Nabi Muhammad saw. menerima risalah
kerasulan. Pada saat yang sama, di Madinah dakwah Rasul saw. mendapatkan
sambutan yang cukup baik. Beliau pun melihat adanya peluang bagi tegaknya
kekuasaan Islam di sana. Oleh karena itu, Nabi saw. pun—sesuai perintah
Allah—melakukan hijrah; beliau meninggalkan tanah kelahirannya di Makkah menuju
Madinah. Di Madinahlah Rasulullah saw. Berhasil memantapkan dakwah Islam
sekaligus menegakkan kekuasaan Islam dalam institusi Daulah Islamiyah.
Momentum Kebangkitan Islam
Adalah
ironis, apabila umat Islam gagal memanfaatkan tahun baru Islam. Ini kerana,
keberadaan tahun hijriah mempunyai konotasi kepada perkembangan Islam yang amat
signifikan. Ia adalah detik permulaan era baru. Detik hijrahnya nabi ke Madinah
yang akhirnya ditandai dengan lahirnya sebuah negara Islam. Kemudian, dari saat
itulah Islam terus berkembang sampai saat ini.
Firman
Allah s.w.t lewat surah an-Nahl ayat 41 yang bermaksud: “Dan orang-orang yang
berhijrah kerena Allah, sesudah mereka dianiaya (ditindas oleh musuh-musuh
Islam), Kami akan menempatkan mereka di dunia ini pada tempatnya yang baik,”
Sambutan
tahun Hijriah mestilah difahami dari kaca mata yang Islam kehendaki. Bukan
hanya dengan dendangan nasyid ataupun pengkisahan peristiwa Hijrah saja, akan
tetapi yang lebih utama adalah mengerti maksud dan kehendak hijrah. Itulah roh
atau semangat hijrah yang tidak akan padam hingga kini.
Hakikatnya
hijrah mengandung arti : pengorbanan, keikhlasan, kekuatan, keyakinan dan
keberanian. Hijrah juga mengandung unsur kebijaksanaan, perencanaan dan
strategi; namun akhirnya meletakkan penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah
SWT. Itulah dinamakan konsep usaha, doa dan tawakal.
Lama
sebelum terjadinya hijrah, Nabi Muhammad SAW sudah mengatur strategi dengan
penduduk Madinah. Beberapa kali perjanjian telah dibuat, sehinggalah nabi
benar-benar meyakini kesanggupan mereka untuk menjadi ‘mitra kerja’ dan
‘pengikut’ yang setia. Kemudian, nabi mengatur kaedah paling baik dalam
melaksanakan hijrah, sehingga mengaburkan pihak musuh.
Cuba kita
fikirkan, para sahabat telah diminta berhijrah terlebih dahulu sedang nabi
masih di rumahnya. Ia menyebabkan musuh-musuh memberikan tumpuan kepada nabi
dan sekaligus tidak begitu mengganggu hijrah para sahabat. Kemudian, nabi juga
merencanakan beberapa strategi lain. Siapakah yang akan tidur di tempat tidur
nabi, siapa yang akan menjadi pemandu dan apakah kemungkinan-kemungkinan yang
bakal terjadi.
Sejarah
mencatat, betapa keterlibatan anak muda seperti Ali bin Abu Talib dan Asma’
binti Abu Bakar, adalah bukti bahwa remaja adalah aset yang mampu menyumbang
kepada kebangkitan Islam. Bahkan, keterlibatan seorang lelaki yang bukannya
beragama Islam, Abdullah bin Uraiqit sebagai pemandu jalan, juga membuktikan
Islam tidaklah memusuhi semua orang-orang bukan Islam. Bahkan mereka yang baik
boleh diangkat sebagai kawan.
jrah ini dalam realitas kehidupan saat ini hanya
akan menjadikan datangnya Tahun Baru Hijrah tidak memberikan makna apa-apa bagi
kita, selain rutinitas pergantian tahun. Ini tentu tidak kita inginkan.
Makna Hijrah
Secara bahasa, hijrah berarti berpindah tempat. Adapun secara syar‘i, para fukaha mendefinisikan hijrah sebagai: keluar dari darul kufur menuju Darul Islam. (An-Nabhani, Asy-Syakhsiyyah al-Islâmiyyah, II/276). Darul Islam dalam definisi ini adalah suatu wilayah (negara) yang menerapkan syariat Islam secara total dalam segala aspek kehidupan dan yang keamanannya berada di tangan kaum Muslim.
Makna Hijrah
Secara bahasa, hijrah berarti berpindah tempat. Adapun secara syar‘i, para fukaha mendefinisikan hijrah sebagai: keluar dari darul kufur menuju Darul Islam. (An-Nabhani, Asy-Syakhsiyyah al-Islâmiyyah, II/276). Darul Islam dalam definisi ini adalah suatu wilayah (negara) yang menerapkan syariat Islam secara total dalam segala aspek kehidupan dan yang keamanannya berada di tangan kaum Muslim.
Sebaliknya, darul kufur adalah wilayah (negara)
yang tidak menerapkan syariat Islam dan keamanannya bukan di tangan kaum
Muslim, sekalipun mayoritas penduduknya beragama Islam. Definisi hijrah semacam
ini diambil dari fakta Hijrah Nabi saw. sendiri dari Makkah (yang saat itu
merupakan darul kufur) ke Madinah (yang kemudian menjadi Darul Islam).
Peristiwa Hijrah, paling tidak, memberikan makna
sebagai berikut:
Pertama: pemisah antara
kebenaran dan kebatilan; antara Islam dan kekufuran; serta antara Darul Islam
dan darul kufur. Paling tidak, demikianlah menurut Umar bin al-Khaththab ra.
ketika beliau menyatakan: Hijrah itu memisahkan antara kebenaran dan kebatilan.
(HR Ibn Hajar).
Kedua: tonggak berdirinya
Daulah Islamiyah (Negara Islam) untuk pertama kalinya. Dalam hal ini, para
ulama dan sejarahwan Islam telah sepakat bahwa Madinah setelah Hijrah Nabi saw.
telah berubah dari sekadar sebuah kota menjadi sebuah negara Islam; bahkan
dengan struktur yang—menurut cendekiawan Barat, Robert N. Bellah—terlalu modern
untuk ukuran zamannya. Saat itu, Muhammad Rasulullah saw. sendiri yang menjabat
sebagai kepala negaranya.
Ketiga: awal kebangkitan
Islam dan kaum Muslim yang pertama kalinya, setelah selama 13 tahun sejak
kelahirannya, Islam dan kaum Muslim terus dikucilkan dan ditindas secara zalim
oleh orang-orang kafir Makkah. Demikianlah sebagaimana pernah diisyarakatkan
oleh Aisyah ra.:
«كَانَ
الْمُؤْمِنُونَ يَفِرُّ أَحَدُهُمْ بِدِينِهِ إِلَى اللهِ تَعَالَى وَإِلَى
رَسُولِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَخَافَةَ أَنْ يُفْتَنَ عَلَيْهِ
فَأَمَّا الْيَوْمَ فَقَدْ أَظْهَرَ اللهُ اْلإِسْلاَمَ وَالْيَوْمَ يَعْبُدُ
رَبَّهُ حَيْثُ شَاءَ»
Dulu ada orang Mukmin yang lari membawa
agamanya kepada Allah dan Rasul-Nya karena takut difitnah. Adapun sekarang
(setelah Hijrah, red.) Allah SWT benar-benar telah memenangkan Islam, dan
seorang Mukmin dapat beribadah kepada Allah SWT sesuka dia. (HR
al-Bukhari).
Setelah Hijrahlah ketertindasan dan kemalangan
umat Islam berakhir. Setelah Hijrah pula Islam bangkit dan berkembang pesat
hingga menyebar ke seluruh Jazirah Arab serta mampu menembus berbagai pelosok
dunia. Setelah Rasulullah saw. wafat, yakni pada masa Khulafaur Rasyidin,
kekuasan Islam semakin merambah ke luar Jazirah Arab.
Bahkan setelah Khulafaur Rasyidin—yakni pada masa
Kekhalifahan Umayah, Abbasiyah, dan terakhir Utsmaniyah—kekuasaan Islam hampir
meliputi 2/3 dunia. Islam bukan hanya berkuasa di Jazirah Arab dan seluruh
Timur Tengah, tetapi juga menyebar ke Afrika dan Asia Tengah; bahkan mampu
menembus ke jantung Eropa. Kekuasaan Islam malah pernah berpusat di Andalusia
(Spanyol).
Mewujudkan Kembali Makna Hakiki Hijrah
Nabi
Dengan mengacu pada tiga makna Hijrah di atas,
dengan mengaitkannya dengan kondisi masyarakat saat ini, kita melihat:
Pertama: Saat ini umat
Islam hidup di dalam darul kufur, bukan Darul Islam. Keadaan ini menjadikan
umat Islam membentuk masyarakat yang tidak islami alias masyarakat Jahiliah.
Masyarakat Jahiliah tidak lain adalah masyarakat yang didominasi oleh pemikiran
dan perasaan umum masyarakat yang tidak islami serta sistem yang juga tidak
islami.
Dalam konteks zaman Jahiliah modern saat ini,
kita melihat, yang mendominasi masyarakat adalah pemikiran dan perasaan sekular
serta sistem hukum sekular, yang bersumber dari akidah sekularisme; yakni
akidah yang menyingkirkan peran agama dari kehidupan. Saat ini masyarakat
didominasi oleh pemikiran demokrasi (yang menempatkan kedaulatan rakyat di atas
kedaulatan Tuhan), HAM, nasionalisme (paham kebangsaan), liberalisme
(kebebasan), permissivisme (paham serba boleh), hedonisme (paham yang
menjadikan kesenangan duniwai/jasadiah sebagai orientasi hidup), feminisme
(paham mengenai kesetaraan jender, pria-wanita), kapitalisme, privatisasi,
pasar bebas, dll.
Perasaan masyarakat pun didominasi oleh perasaan
ridha dan benci atas dasar pandangan hidup sekular. Mereka meridhai semua yang
bersumber dari akidah sekular dan sebaliknya membenci semua yang bertentangan
dengan pandangan sekularisme; mereka meridhai demokrasi (yang menjunjung tinggi
kedaulatan manusia) dan sebaliknya membenci kedaulatan Tuhan untuk mengatur
manusia; mereka meridhai nasionalisme dan nation state (negara-bangsa) dan
sebaliknya membenci ikatan ukhuwah islamiyah dan kesatuan kaum Muslim di bawah
satu negara (Khilafah Islamiyah); mereka meridhai liberalisme (kebebasan),
permissivisme (paham serba boleh), hedonisme (paham yang menjadikan kesenangan
duniawi/jasadiah sebagai orientasi hidup), dan sebaliknya membenci keterikatan
dengan syariah/hukum-hukum Allah dan menjadikan akhirat sebagai orientasi hidup
mereka; mereka meridhai sistem ekonomi kapitalisme yang berasaskan manfaat,
ekonomi ribawi, privatisasi, dan pasar bebas dan sebaliknya membenci sistem
ekonomi Islam; mereka pun meridhai hukum-hukum kufur yang bobrok dan sebaliknya
membenci hukum-hukum Islam—seperti hukum cambuk, hukum rajam, atau hukum potong
tangan—yang mendatangkan keadilan dan rahmat bagi manusia.
Lebih dari itu, sistem yang mengatur masyarakat
saat ini tidak lain adalah sistem yang juga bersumber dari akidah sekularisme.
Sebaliknya, sistem Islam—yakni sistem ekonomi, politik, pemerintahan,
peradilan, hukum, sosial, budaya maupun pertahanan dan keamanan negara yang
bersumber dari akidah Islam—mereka campakkan. Itulah realitas masyarakat
Jahiliah pada zaman modern saat ini.
Karena itu, upaya mengubah masyarakat Jahiliah
menjadi masyarakat Islam, itulah di antara makna hakiki dari Peristiwa Hijrah
Nabi saw. yang harus kita realisasikan kembali saat ini. Caranya tidak lain
dengan menggusur dominasi pemikiran, perasaan, dan sistem sekular di
tengah-tengah masyarakat saat ini; kemudian menggantinya dengan dominasi
pemikiran, perasaan, dan sistem Islam. Tanpa berusaha mengubah ketiga unsur
tersebut di tengah masyarakat Jahiliah saat ini, masyarakat Islam yang kita
cita-citakan tentu tidak akan pernah dapat diwujudkan.
Kedua: Saat ini tidak ada satu
pun negeri Islam yang layak disebut sebagai Daulah Islamiyah. Padahal kita
tahu, di antara makna dari Peristiwa Hijrah Nabi saw. adalah pembentukan Daulah
Islamiyah, yang saat itu ditegakkan di Madinah al-Munawwarah.
Daulah Islamiyah yang dibentuk oleh Nabi
saw.—yang dalam perjalanan selanjutnya setelah beliau wafat disebut sebagai
Khilafah Islamiyah—tidak lain adalah sebuah negara yang memberlakukan syariat
Islam secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan. Karena itu, upaya membangun
kembali Daulah Islamiyah atau Khilafah Islamiyah ini seharusnya menjadi cita-cita
bersama umat Islam yang betul-betul ingin mewujudkan kembali makna Hijrah dalam
kehidupan mereka saat ini.
Ketiga: Saat ini keadaan
umat Islam di seluruh Dunia Islam sangat memprihatinkan. Di negeri-negeri di
mana kaum Muslim minoritas, mereka tertindas. Bahkan, kaum Muslim di Filipina
(Moro), Thailand (Pattani), India (Kashmir), dan beberapa wilayah lain
merupakan saksi nyata kesengsaraan dan ketertindasan umat Islam saat ini.
Bahkan di negeri-negeri yang kaya akan kekayaan
alam, namun mereka tak berdaya, dengan mudah negeri mereka diduduki dan
dijajah, lihatlah Afghanistan dan Irak. Mereka ditindas hanya karena satu
alasan, yakni karena mereka Muslim; persis seperti orang-orang kafir Qurays
dulu memperlakukan Nabi saw. dan para Sahabatnya ketika di Makkah. Mereka sama
sekali tidak diberi kesempatan untuk memunculkan Islam, bahkan sekadar
menampilkan identitas mereka sebagai Muslim.
Sebaliknya, kaum Muslim yang tinggal di
negeri-negeri di mana mereka mayoritas pun, hukum-hukum Islam tidak bisa ditegakkan.
Kaum Muslim yang berpegang teguh pada aturan-aturan Allah SWT disisihkan.
Mereka yang konsisten dalam perjuangan menegakkan syariat Islam terus-menerus
difitnah dengan berbagai cap yang menyudutkan seperti ekstremis, radikal,
fundamentalis, bahkan teroris! Akibatnya, aspirasi Islam dibungkam dan para
pejuangnya pun diburu, dijebloskan ke penjara, bahkan dibunuh.
Kaum Muslim saat ini hidup tertekan dalam
“penjara besar”, yakni negeri mereka sendiri, yang telah dikuasai oleh sistem
kufur yang dikontrol oleh negara-negara kafir Barat imperialis. Posisi umat
Islam yang pernah mengalami masa kejayaannya sejak zaman Nabi saw. sampai
Kekhilafahan Ustmaniyah di Turki kini tinggal kenangan.
Apalagi setelah Peristiwa 11 September 2001,
Islam dan kaum Muslim betul-betul menjadi 'bulan-bulanan' AS dan
sekutu-sekutunya. Padahal, kita tahu, di antara makna dari Peristiwa Hijrah
Nabi saw. adalah bangkitnya kaum Muslim setelah mereka lama tertindas dan
terzalimi (kurang-lebih 13 tahun) di negeri mereka sendiri, yakni Makkah,
sebagaimana diisyaratkan oleh Aisyah ra. di atas.
Karena itu, agar kaum Muslim dapat benar-benar
mewujudkan kembali makna Hijrah yang sebenarnya, tidak lain, umat ini harus
segera melepaskan diri dari segala bentuk kezaliman sistem kufur dan kekuasaan
negara-negara imperialis Barat kafir, yang nyata-nyata telah menimbulkan
ketertindasan dan kemalangan kaum Muslim dalam berbagai bidang kehidupan. Semua
itu tidak lain hanya mungkin diwujudkan dengan kembali berhijrah menuju Daulah
Islamiyah.
Karena saat ini ditengah Islam tidak lagi
diterapkan dalam kehidupan nyata dalam sebuah negara, maka tugas seluruh kaum
Muslimlah untuk mewujudkannya kembali di tengah-tengah mereka. Caranya tidak
lain dengan mengubah negeri-negeri Muslim saat ini yang berada dalam kungkungan
sistem kufur, yakni sistem Kapitalisme-sekular, sekaligus menghimpunnya kembali
dalam satu wadah negara, yakni Daulah Islamiyah atau Khilafah Islamiyah.
Khatimah
Hanya dengan mewujudkan kembali ketiga makna Hijrah di ataslah kekufuran akan lenyap digantikan oleh keimanan; kejahiliahan akan musnah tertutup cahaya Islam; darul kufur akan terkubur oleh Darul Islam; dan masyarakat Jahiliah pun akan berubah menjadi masyarakat Islam. Hanya dengan itu pula, insya Allah, umat Islam saat ini akan berubah dari umat yang terhina menjadi umat yang akan meraih kembali posisi terhormat sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah SWT:
Hanya dengan mewujudkan kembali ketiga makna Hijrah di ataslah kekufuran akan lenyap digantikan oleh keimanan; kejahiliahan akan musnah tertutup cahaya Islam; darul kufur akan terkubur oleh Darul Islam; dan masyarakat Jahiliah pun akan berubah menjadi masyarakat Islam. Hanya dengan itu pula, insya Allah, umat Islam saat ini akan berubah dari umat yang terhina menjadi umat yang akan meraih kembali posisi terhormat sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah SWT:
]كُنْتُمْ
خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ
عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللهِ[
Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan
untuk manusia; melakukan amar makruf nahi mungkar dan beriman kepada Allah.
(QS Ali Imran [3]: 110).
Begitu juga usaha nabi dan Abu Bakar, yang sengaja mengambil haluan ke arah selatan Mekah dan bukannya arah Utara sebagaimana biasa, kemudian menuju Tihama berdekatan pantai Laut Merah, adalah satu strategi untuk mengelabuhi musuh. Ia mampu menimbulkan perpecahan di kalangan musuh yang bertengkar dengan arah yang diambil oleh nabi. Ia menunjukkan, Islam mementingkan kebijaksanaan dalam rancangan.
Kini, umat Islam tidak perlu meraba-raba dalam mencari arah dan pedoman. Peristiwa hijrah yang berlaku lebih dari 1400 tahun itu, sudah menyediakan contoh kepada kita. Seandainya kita ingin maju, maka mulailah dengan perencanaan yang baik. Namun perencanaan yang baik, masih perlu didukung dengan pelaksanaan yang baik pula dari semua pihak dan juga harus disertai dengan do’a dan tawakkal kepada Allah SWT.
Umat Islam juga sewajarnya menobatkan Tahun Islam ini sebagai mukaddimah membaharui azam dan cita-cita. Apakah sepanjang tahun lalu sudah terealisasi segala azam dan cita-cita itu ataukah masih banyak bersifat angan-angan kosong belaka. Ini kerena, berkat keazaman dari Rasulullah SAW melaksanakan hijrah, maka kita mendapat kebaikannya hingga kini.
Di samping itu, hijrah juga menunjukkan Islam mampu menyatukan semua umat walaupun berbeda keturunan. Siapakah yang dapat menyangkal, hijrah telah menyatukan kaum Anshar dan Muhajirin:
"Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka Itulah orang-orang yang benar-benar beriman. mereka memperoleh ampunan dan rezki (nikmat) yang mulia," (al-Anfal: 74)
jrah ini dalam realitas kehidupan saat ini hanya
akan menjadikan datangnya Tahun Baru Hijrah tidak memberikan makna apa-apa bagi
kita, selain rutinitas pergantian tahun. Ini tentu tidak kita inginkan.
Makna Hijrah
Secara bahasa, hijrah berarti berpindah tempat. Adapun secara syar‘i, para fukaha mendefinisikan hijrah sebagai: keluar dari darul kufur menuju Darul Islam. (An-Nabhani, Asy-Syakhsiyyah al-Islâmiyyah, II/276). Darul Islam dalam definisi ini adalah suatu wilayah (negara) yang menerapkan syariat Islam secara total dalam segala aspek kehidupan dan yang keamanannya berada di tangan kaum Muslim.
Makna Hijrah
Secara bahasa, hijrah berarti berpindah tempat. Adapun secara syar‘i, para fukaha mendefinisikan hijrah sebagai: keluar dari darul kufur menuju Darul Islam. (An-Nabhani, Asy-Syakhsiyyah al-Islâmiyyah, II/276). Darul Islam dalam definisi ini adalah suatu wilayah (negara) yang menerapkan syariat Islam secara total dalam segala aspek kehidupan dan yang keamanannya berada di tangan kaum Muslim.
Sebaliknya, darul kufur adalah wilayah (negara)
yang tidak menerapkan syariat Islam dan keamanannya bukan di tangan kaum
Muslim, sekalipun mayoritas penduduknya beragama Islam. Definisi hijrah semacam
ini diambil dari fakta Hijrah Nabi saw. sendiri dari Makkah (yang saat itu
merupakan darul kufur) ke Madinah (yang kemudian menjadi Darul Islam).
Peristiwa Hijrah, paling tidak, memberikan makna
sebagai berikut:
Pertama: pemisah antara
kebenaran dan kebatilan; antara Islam dan kekufuran; serta antara Darul Islam
dan darul kufur. Paling tidak, demikianlah menurut Umar bin al-Khaththab ra.
ketika beliau menyatakan: Hijrah itu memisahkan antara kebenaran dan kebatilan.
(HR Ibn Hajar).
Kedua: tonggak berdirinya
Daulah Islamiyah (Negara Islam) untuk pertama kalinya. Dalam hal ini, para
ulama dan sejarahwan Islam telah sepakat bahwa Madinah setelah Hijrah Nabi saw.
telah berubah dari sekadar sebuah kota menjadi sebuah negara Islam; bahkan
dengan struktur yang—menurut cendekiawan Barat, Robert N. Bellah—terlalu modern
untuk ukuran zamannya. Saat itu, Muhammad Rasulullah saw. sendiri yang menjabat
sebagai kepala negaranya.
Ketiga: awal kebangkitan
Islam dan kaum Muslim yang pertama kalinya, setelah selama 13 tahun sejak
kelahirannya, Islam dan kaum Muslim terus dikucilkan dan ditindas secara zalim
oleh orang-orang kafir Makkah. Demikianlah sebagaimana pernah diisyarakatkan oleh
Aisyah ra.:
«كَانَ
الْمُؤْمِنُونَ يَفِرُّ أَحَدُهُمْ بِدِينِهِ إِلَى اللهِ تَعَالَى وَإِلَى
رَسُولِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَخَافَةَ أَنْ يُفْتَنَ عَلَيْهِ
فَأَمَّا الْيَوْمَ فَقَدْ أَظْهَرَ اللهُ اْلإِسْلاَمَ وَالْيَوْمَ يَعْبُدُ
رَبَّهُ حَيْثُ شَاءَ»
Dulu ada orang Mukmin yang lari membawa
agamanya kepada Allah dan Rasul-Nya karena takut difitnah. Adapun sekarang
(setelah Hijrah, red.) Allah SWT benar-benar telah memenangkan Islam, dan
seorang Mukmin dapat beribadah kepada Allah SWT sesuka dia. (HR
al-Bukhari).
Setelah Hijrahlah ketertindasan dan kemalangan
umat Islam berakhir. Setelah Hijrah pula Islam bangkit dan berkembang pesat
hingga menyebar ke seluruh Jazirah Arab serta mampu menembus berbagai pelosok
dunia. Setelah Rasulullah saw. wafat, yakni pada masa Khulafaur Rasyidin,
kekuasan Islam semakin merambah ke luar Jazirah Arab.
Bahkan setelah Khulafaur Rasyidin—yakni pada masa
Kekhalifahan Umayah, Abbasiyah, dan terakhir Utsmaniyah—kekuasaan Islam hampir
meliputi 2/3 dunia. Islam bukan hanya berkuasa di Jazirah Arab dan seluruh
Timur Tengah, tetapi juga menyebar ke Afrika dan Asia Tengah; bahkan mampu
menembus ke jantung Eropa. Kekuasaan Islam malah pernah berpusat di Andalusia
(Spanyol).
Mewujudkan Kembali Makna Hakiki Hijrah
Nabi
Dengan mengacu pada tiga makna Hijrah di atas,
dengan mengaitkannya dengan kondisi masyarakat saat ini, kita melihat:
Pertama: Saat ini umat
Islam hidup di dalam darul kufur, bukan Darul Islam. Keadaan ini menjadikan
umat Islam membentuk masyarakat yang tidak islami alias masyarakat Jahiliah.
Masyarakat Jahiliah tidak lain adalah masyarakat yang didominasi oleh pemikiran
dan perasaan umum masyarakat yang tidak islami serta sistem yang juga tidak
islami.
Dalam konteks zaman Jahiliah modern saat ini,
kita melihat, yang mendominasi masyarakat adalah pemikiran dan perasaan sekular
serta sistem hukum sekular, yang bersumber dari akidah sekularisme; yakni
akidah yang menyingkirkan peran agama dari kehidupan. Saat ini masyarakat
didominasi oleh pemikiran demokrasi (yang menempatkan kedaulatan rakyat di atas
kedaulatan Tuhan), HAM, nasionalisme (paham kebangsaan), liberalisme
(kebebasan), permissivisme (paham serba boleh), hedonisme (paham yang
menjadikan kesenangan duniwai/jasadiah sebagai orientasi hidup), feminisme (paham
mengenai kesetaraan jender, pria-wanita), kapitalisme, privatisasi, pasar
bebas, dll.
Perasaan masyarakat pun didominasi oleh perasaan
ridha dan benci atas dasar pandangan hidup sekular. Mereka meridhai semua yang
bersumber dari akidah sekular dan sebaliknya membenci semua yang bertentangan
dengan pandangan sekularisme; mereka meridhai demokrasi (yang menjunjung tinggi
kedaulatan manusia) dan sebaliknya membenci kedaulatan Tuhan untuk mengatur
manusia; mereka meridhai nasionalisme dan nation state (negara-bangsa) dan
sebaliknya membenci ikatan ukhuwah islamiyah dan kesatuan kaum Muslim di bawah
satu negara (Khilafah Islamiyah); mereka meridhai liberalisme (kebebasan),
permissivisme (paham serba boleh), hedonisme (paham yang menjadikan kesenangan
duniawi/jasadiah sebagai orientasi hidup), dan sebaliknya membenci keterikatan
dengan syariah/hukum-hukum Allah dan menjadikan akhirat sebagai orientasi hidup
mereka; mereka meridhai sistem ekonomi kapitalisme yang berasaskan manfaat,
ekonomi ribawi, privatisasi, dan pasar bebas dan sebaliknya membenci sistem
ekonomi Islam; mereka pun meridhai hukum-hukum kufur yang bobrok dan sebaliknya
membenci hukum-hukum Islam—seperti hukum cambuk, hukum rajam, atau hukum potong
tangan—yang mendatangkan keadilan dan rahmat bagi manusia.
Lebih dari itu, sistem yang mengatur masyarakat
saat ini tidak lain adalah sistem yang juga bersumber dari akidah sekularisme.
Sebaliknya, sistem Islam—yakni sistem ekonomi, politik, pemerintahan,
peradilan, hukum, sosial, budaya maupun pertahanan dan keamanan negara yang
bersumber dari akidah Islam—mereka campakkan. Itulah realitas masyarakat
Jahiliah pada zaman modern saat ini.
Karena itu, upaya mengubah masyarakat Jahiliah
menjadi masyarakat Islam, itulah di antara makna hakiki dari Peristiwa Hijrah
Nabi saw. yang harus kita realisasikan kembali saat ini. Caranya tidak lain
dengan menggusur dominasi pemikiran, perasaan, dan sistem sekular di
tengah-tengah masyarakat saat ini; kemudian menggantinya dengan dominasi
pemikiran, perasaan, dan sistem Islam. Tanpa berusaha mengubah ketiga unsur
tersebut di tengah masyarakat Jahiliah saat ini, masyarakat Islam yang kita
cita-citakan tentu tidak akan pernah dapat diwujudkan.
Kedua: Saat ini tidak ada satu
pun negeri Islam yang layak disebut sebagai Daulah Islamiyah. Padahal kita
tahu, di antara makna dari Peristiwa Hijrah Nabi saw. adalah pembentukan Daulah
Islamiyah, yang saat itu ditegakkan di Madinah al-Munawwarah.
Daulah Islamiyah yang dibentuk oleh Nabi
saw.—yang dalam perjalanan selanjutnya setelah beliau wafat disebut sebagai
Khilafah Islamiyah—tidak lain adalah sebuah negara yang memberlakukan syariat
Islam secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan. Karena itu, upaya membangun
kembali Daulah Islamiyah atau Khilafah Islamiyah ini seharusnya menjadi
cita-cita bersama umat Islam yang betul-betul ingin mewujudkan kembali makna
Hijrah dalam kehidupan mereka saat ini.
Ketiga: Saat ini keadaan
umat Islam di seluruh Dunia Islam sangat memprihatinkan. Di negeri-negeri di
mana kaum Muslim minoritas, mereka tertindas. Bahkan, kaum Muslim di Filipina
(Moro), Thailand (Pattani), India (Kashmir), dan beberapa wilayah lain
merupakan saksi nyata kesengsaraan dan ketertindasan umat Islam saat ini.
Bahkan di negeri-negeri yang kaya akan kekayaan
alam, namun mereka tak berdaya, dengan mudah negeri mereka diduduki dan
dijajah, lihatlah Afghanistan dan Irak. Mereka ditindas hanya karena satu
alasan, yakni karena mereka Muslim; persis seperti orang-orang kafir Qurays
dulu memperlakukan Nabi saw. dan para Sahabatnya ketika di Makkah. Mereka sama
sekali tidak diberi kesempatan untuk memunculkan Islam, bahkan sekadar
menampilkan identitas mereka sebagai Muslim.
Sebaliknya, kaum Muslim yang tinggal di
negeri-negeri di mana mereka mayoritas pun, hukum-hukum Islam tidak bisa
ditegakkan. Kaum Muslim yang berpegang teguh pada aturan-aturan Allah SWT
disisihkan. Mereka yang konsisten dalam perjuangan menegakkan syariat Islam
terus-menerus difitnah dengan berbagai cap yang menyudutkan seperti ekstremis,
radikal, fundamentalis, bahkan teroris! Akibatnya, aspirasi Islam dibungkam dan
para pejuangnya pun diburu, dijebloskan ke penjara, bahkan dibunuh.
Kaum Muslim saat ini hidup tertekan dalam
“penjara besar”, yakni negeri mereka sendiri, yang telah dikuasai oleh sistem
kufur yang dikontrol oleh negara-negara kafir Barat imperialis. Posisi umat
Islam yang pernah mengalami masa kejayaannya sejak zaman Nabi saw. sampai
Kekhilafahan Ustmaniyah di Turki kini tinggal kenangan.
Apalagi setelah Peristiwa 11 September 2001,
Islam dan kaum Muslim betul-betul menjadi 'bulan-bulanan' AS dan
sekutu-sekutunya. Padahal, kita tahu, di antara makna dari Peristiwa Hijrah
Nabi saw. adalah bangkitnya kaum Muslim setelah mereka lama tertindas dan
terzalimi (kurang-lebih 13 tahun) di negeri mereka sendiri, yakni Makkah,
sebagaimana diisyaratkan oleh Aisyah ra. di atas.
Karena itu, agar kaum Muslim dapat benar-benar
mewujudkan kembali makna Hijrah yang sebenarnya, tidak lain, umat ini harus
segera melepaskan diri dari segala bentuk kezaliman sistem kufur dan kekuasaan
negara-negara imperialis Barat kafir, yang nyata-nyata telah menimbulkan
ketertindasan dan kemalangan kaum Muslim dalam berbagai bidang kehidupan. Semua
itu tidak lain hanya mungkin diwujudkan dengan kembali berhijrah menuju Daulah
Islamiyah.
Karena saat ini ditengah Islam tidak lagi
diterapkan dalam kehidupan nyata dalam sebuah negara, maka tugas seluruh kaum
Muslimlah untuk mewujudkannya kembali di tengah-tengah mereka. Caranya tidak
lain dengan mengubah negeri-negeri Muslim saat ini yang berada dalam kungkungan
sistem kufur, yakni sistem Kapitalisme-sekular, sekaligus menghimpunnya kembali
dalam satu wadah negara, yakni Daulah Islamiyah atau Khilafah Islamiyah.
Khatimah
Hanya dengan mewujudkan kembali ketiga makna Hijrah di ataslah kekufuran akan lenyap digantikan oleh keimanan; kejahiliahan akan musnah tertutup cahaya Islam; darul kufur akan terkubur oleh Darul Islam; dan masyarakat Jahiliah pun akan berubah menjadi masyarakat Islam. Hanya dengan itu pula, insya Allah, umat Islam saat ini akan berubah dari umat yang terhina menjadi umat yang akan meraih kembali posisi terhormat sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah SWT:
Hanya dengan mewujudkan kembali ketiga makna Hijrah di ataslah kekufuran akan lenyap digantikan oleh keimanan; kejahiliahan akan musnah tertutup cahaya Islam; darul kufur akan terkubur oleh Darul Islam; dan masyarakat Jahiliah pun akan berubah menjadi masyarakat Islam. Hanya dengan itu pula, insya Allah, umat Islam saat ini akan berubah dari umat yang terhina menjadi umat yang akan meraih kembali posisi terhormat sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah SWT:
]كُنْتُمْ
خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ
عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللهِ[
Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan
untuk manusia; melakukan amar makruf nahi mungkar dan beriman kepada Allah.
(QS Ali Imran [3]: 110).
Jelaslah, hijrah mampu memberikan
pedoman buat kita sepanjang zaman sebagai momentum kebangkitan Islam. Syaratnya,
jika kita mau menggali makna hijrah yang hakiki. Jika tidak, hijrah hanya
tinggal catatan sejarah belaka, tanpa memberikan perubahan yang signifikan
dalam hidup dan kehidupan kita. Wallahu A’lamu bishowab
Komentar
Posting Komentar