zakat profesi
ZAKAT PROFESI
A. Pendahuluan
Istilah Zakat Profesi
belum dikenal di zaman Rosulullah SAW, bahkan hingga masa berikutnya selama
ratusan tahun. Apalagi kitab-kitab Fiqih
yang menjadi rujukan umat ini pun tidak mencantumkan pembahasan bab zakat
profesi didalamnya. Harus diingat bahwa meski di zaman Rosulullah SAW telah ada
beragam profesi, namun kondisinya berbeda dengan zaman sekarang dari segi
penghasilan. Dizaman itu pemghasilan yang cukup besar dan dapat membuat
seseorang menjadi kaya berbeda dengan zaman sekarang. Diantaranya adalah
berdagang, bertani dan berternak. Sebaliknya, di zaman sekarang ini berdagang
tidak otomatis membuat pelakunya menjadi kaya, sebagaimana juga bertani dan
berternak.. Sebaliknya, profesi-profesi tertentu yang dahulu sudah ada, tapi
dari sisi pendapatan saat itu tidaklah merupakan kerja yang mendatangkan materi
besar. Di zaman sekarang ini justru profesi-profesi inilah yang mendatangkan
sejumlah besar harta dalam waktu yang singkat. Seperti Dokter Spesialis,
Arsitek, Komputer, Programer, Pengacara, dan sebagainya. Nilainya bisa ratusan
kali lipat dari petani dan peternak miskin di desa-desa.
Perubahan Sosial inilah
yang mendasari ijtihad para ulama hari ini untuk melihat kembali cara pandang
kita dalam menentukan: siapakah orang kaya dan siapakah orang miskin? Intinya
zakat itu adalah mengumpulkan harta orang kaya untuk diberikan pada orang
miskin. Dizaman dahulu, orang kaya identik dengan Pedagang, Petani, dan
Peternak. Tapi di zaman sekarang ini, orang kaya adalah para profesional yang
bergaji besar. Zaman berubah namun prinsip zakat tidak berubah. Yang berubah
adalah realitas di masyarakat. Tapi intinya orang kaya menyisihkan uangnya
untuk orang miskin. Dan itu adalah intisari Zakat. Dengan demikian, zakat
profesi merupakan ijtihad pada ulama di masa kini yang nampaknya berangkat dari
ijtihad yang cukup memiliki alasan dan dasar yang juga cukup kuat. Akan tetapi
tidak semua ulama sepakat dengan hal tersebut. Bagaimana sesungguhnya hukum
zakat profesi? Wajibkah penghasilan setiap profesi dikeluarkan zakatnya? Adakah
dalil Al-Qur'an dan As-Sunnah yang menjadi dasarnya? Berapakah Nisab dan Prosentasinya?
Bagaimana cara pembayarannya? Agaknya inilah yang akan Penulis kemukakan dalam
makalah yang sangat sederhana ini. Wallahu a'lam bishawwab.
B. Pengertian Zakat Ditinjau Menurut
Kajian Fiqih
Zakat
menurut bahasa berarti kesuburan, kesucian dan keberkahan sesuai dengan firman
Allah di dalam al-Qur'an QS. At-taubah : 103
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً
تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاتَكَ سَكَنٌ
لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيم
"Ambillah
zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan
mensucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu
(menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui."
Kata zakat
semula bermakna: al-thaharah (bersih), al-nama’ (tumbuh,
berkembang), al-barakah (anugerah yang lestari), al-madh
(terpuji) dan al-shalah (kesalehan). Semua makna tersebut telah
dipergunakan baik di dalam Al-Qur’an maupun di dalam Al-Hadits. Kemudian kata zakat
dipergunakan untuk menyebut nama hak Allah yang harus dikeluarkan oleh orang
kaya dan disalurkan kepada fakir miskin dengan harapan agar memperoleh
keberkahan dan kebersihan jiwa serta dapat menunbuhkan kebaikan-kebaikan yang
banyak[1].
Sedangkan kata profesi berasal dari bahasa Inggris “profession”
yang artinya pekerjaan (John M. Echols, Kamus Inggris Indonesia, 1997:449).
Dengan demikian yang dimaksud “zakat profesi” dalam tulisan ini ialah
zakat hasil kerja dari pekerja-pekerja yang bergerak di bidang jasa seperti
pegawai negeri, pegawai perusahaan, dokter, pengacara dan sebagainya.
Dalam prakteknya pekerjaan yang diserap di
lapangan jasa (bukan produksi) dapat dibagi menjadi dua bagian; pertama
pekerjaan yang tidak terikat dengan pihak lain (al-mihan al-hurrah)
dan kedua pekerjaan yang terikat dengan pihak lain atau dikenal sebagai kerja
profesi (kasb al-’amal). Yang pertama adalah orang-orang yang
bekerja memberikan pelayanan atau jasa tanpa terikat dengan suatu kontrak atau
perjanjian dengan pihak lain. Contohnya seperti dokter yang melakukan praktek
umum, notaries, seniman, pengacara, artis, konsultan (termasuk mediator atau
calo), dan sebagainya. Masing-masing memperoleh upah atau imbalan yang cukup
besar dari jasa dan pelayanan yang mereka kerjakan pada setiap hari atau setiap
minggu atau setiap praktek dan setiap tampil. Adapun yang kedua yaitu orang-orang
yang melaksanakan pekerjaannya melalui sebuah kontrak atau perjanjian dengan
pihak lain, misalnya seperti pegawai negeri, dinas ketentaraan, polisi, pegawai
pabrik, pegawai perusahaan, atau menjadi pekerja pada perorangan seperti TKI
dan TKW yang memperoleh gaji secara rutin pada setiap bulan.[2]
Selain dari kata"zakat" disebut
juga dengan sedekah dari kata kerja shadaqa yang berarti benar, karena ketaatan
seorang Muslim melakukan sedekah, merupakan sebagai suatu tanda kesucian
hatinya dan kebenaran imannya.
Adapun
pengertiannya menurut syara' yang telah dirumuskan oleh Fuqaha' adalah nama harta yang dikeluarkan manusia
dari hak Allah, untuk diberikan kepada fakir miskin. [3]
sedangkan definisi yang diberikan oleh Mahmud Syaltut dalam kitabnya Al-fatawa,
zakat adalah sebagian harta yang dikeluarkan oleh hartawan untuk diberikan
kepada saudaranya yang fakir miskin dan untuk kepentingan umum yang meliputi
penertiban dan peningkatan taraf hidup umat. [4]Adapun
harta benda yang dikenai kewajiban zakat adalah: emas dan perak, barang-barang
perniagaan, hasil tanaman dan buah, hewan ternak, dan hasil tambang dan rikaz.
Sejatinya tidak hanya benda-benda ini yang dikenai zakat, maka untuk sampainya
pada makashid syari'ah dalam persoalan zakat maka para mujtahid mengembangkan,merentangkan
hokum dengan metoda ijtihad mereka sehingga terdapat hal-hal lain yang dikenai
zakat. Termasuk di dalamnya zakat profesi atau zakat mata pencarian. Andai saja
ayat tentang zakat ini dipahami secara konteks tentu betapa banyak orang-orang
yang terlepas dari kewajiban zakat, padahal dia sebenarnya lebih pantas untuk
berzakat bila dibandingkan pada orang-orang yang dikenai sasaran zakat seperti
yang telah diuraikan di atas. Mengenai zakat profesi secara zhaher ayat memang
tidak disebutkan secara jelas namun setidaknya dapat dipahami dibalik keumuman
lafas dari Q.S At-Taubah ayat 267 berikut akan penulis kemukakan:
1. Zakat Profesi
Dalam
bahasa arab kata "profesi" diterjemahkan dengan dua kata:
a)
Yang berarti lebih
mengandalkan otak oleh karena itu kaum professional disebut al-mihaniyyun atau
ashhabul mihnah seperti advokat, dokter, konsultan, pekerja kantoran.
b)
Yaitu pekerjaan yang
mengandalkan fisik dan otot. Missal Pengrajin, mekanik, bengkel, tukang las,
tukang jahit dan lain sebagainya.[5]
2. Ayat-ayat al Qur'an tentang zakat
profesi
Dasar hukum kewajiban
zakat secara umum disebutkan baik dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits yang antara
lain sebagai berikut :
وأقيموا الصلاة وآتوا الزكاة-البقرة
“Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat…” (QS
Al-Baqarah,2:43)
خذ من أموالهم صدقة تطهرهم وتزكيهم بها
-التوبة 103
“Ambillah zakat dari sebahagian harta mereka, dengan zakat itu
kamu membersihkan dan mensucikan mereka…” (QS At-Taubah,9:103)
Dan dasar hukum zakat profesi dapat
diambil dari mafhum ayat sebagai berikut :
يا أيها الذين أمنوا أنفقوا من طيبات ما
كسبتم ومما أخرجنا لكم من الارض-البقرة 267
“Hai orang-orang yang beriman, infaqkanlah sebahagian dari hasil
usahamu yang baik-baik dan sebahagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi
untuk kamu …” (QS Al-Baqarah,2:267)
وهوالذى أنشأ جنت معروشت وغير معروشت
والنخل والزرع مختلفا أكله والزيتون والرمان متشابها وغير متشابه كلوا من ثمره إذا أثمر وآتوا حقه يوم حصاده-الأنعام 141
“Dan Dia-lah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan
yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya,
zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya).
Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) apabila ia berbuah dan tunaikanlah
haknya pada hari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya)…” (QS
Al-An’am,6:141)
Beberapa ayat tersebut menunjukkan kewajiban zakat dan
tujuan serta teknis penarikannya. Dalam garis besarnya obyek zakat meliputi
keseluruhan hasil usaha (min thayyibati ma kasabtum) dan keseluruhan
komoditas yang mencakup flora dan fauna (min ma akhrajna lakum min al-ardli).
Dan pada prinsipnya sistem zakat adalah sistem pemerataan kesejahteraan
masyarakat yang diatur melalui penarikan harta dari orang-orang kaya dan disalurkan
kepada orang-orang miskin.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا
أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الأرْضِ وَلا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ
وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ
غَنِيٌّ حَمِيدٌ
’’Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil
usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi
untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan
daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan
memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha
Terpuji.’’
Ayat ini menguraikan
tentang nafkah atau zakat serta sifat dari zakat tersebut. Bahwa harta yang
dizakatkan itu adalah harta yang baik-baik. Dan dari apa yang dinafkahkan oleh
maanusia itu dari hasil usaha dan dari
apa yang dikeluarkan Allah dari perut bumi.
Tentu saja hasil usaha
manusia bermacam-macam, bahkan dari hari ke hari dapat muncul usaha-usaha baru
yang belum dikenal sebalumnya, seperti usaha jasa dengan keaneka ragamannya.
Semuanya dicakup oleh ayat ini, dan semuanya perlu dinafkahkan sebagian
darinya. Kalau memahami perintah ayat ini dalam arti perintah wajib, maka semua
hasil usaha apapun bentuknya, wajib dizakati
termasuk gaji yang di peroleh seorang peawai, jika gajinya telah
memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan
dalam konteks zakat. Demikian juga dengan hasil pertanian, baik yang telah
dikenal pada masa Nabi maupun yang belum dikenal, atau yang tidak dikenal
ditempat turunnya ayat. Hasil pertanian seperti cengkeh, lada, buah-buahan dan
lain-lain dicakup oleh makna kalimat yang Kami keluarkan dari bumi. [6]
3. Hadis-hadis
tentang zakat penghasilan(profesi)
Dasar hukum zakat profesi dapat diambil dari mafhum hadist
sebagai berikut :
عن ابن عباس رضى الله عنه قال:أن النبى
صلى الله عليه وسلم لما بعث معاذا الى اليمن قال: إنك تأتى قوما من أهل الكتاب, فادعهم الى شهادة أن لااله الا الله وأنى رسول
الله,فإن هم أطاعوك لذلك فأعلمهم أن الله افترض عليهم خمس صلوات فى كل يوم وليلة, فإن
أطاعوك لذلك فأعلمهم أن الله افترض عليهم صدقة تؤخذ من أغنيائهم فترد على فقرائهم, فإن هم أطاعوك لذلك فإياك وكرائم أموالهم,واتق دعوة
المظلوم فإنه ليس بينها وبين الله حجاب -رواه الجماعة
“Dari
Ibnu Abbas RA berkata: bahwa ketika Nabi SAW mengutus Mu’adz ke negeri Yaman
beliau memberikan amanat (kepadanya): Sesungguhnya engkau akan menghadapi
masyarakat Ahli Kitab, maka ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa tidak ada Tuhan
selain Allah dan bahwa aku adalah utusan Allah; apabila mereka telah taat
kepadamu mengenai hal itu, maka beritahukan kepada mereka bahwa Allah
mewajibkan shalat lima kali sehari semalam; apabila mereka telah taat kepadamu
mengenai hal itu, maka beritahukan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan
shadaqah (zakat) kepada mereka, yang diambil dari orang-orang kaya dan
disalurkan kepada orang-orang miskin dari kalangan mereka. Apabila mereka telah
taat kepadamu mengenai hal itu, maka kamu hendaklah berhati hati, jangan
mengambil yang baik-baiknya saja dari harta mereka, dan hindarilah doa
orang-orang yang teraniaya, karena antara doanya dengan Allah tidak ada hijab”
(HR Sejumlah besar Ahli Hadits)
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم بنى
الاسلام على خمس:شهادة أن لا اله إلا الله وأن محمدا رسول الله وإقام الصلاة وإيتاء الزكاة وحج البيت وصوم رمضان-متفق عليه
“Rasulullah SAW bersabda:
Agama Islam didirikan di atas lima
pilar, yaitu bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bersaksi bahwa
Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, pergi haji
ke Baitullah, dan berpuasa di bulan Ramadhan” (HR Bukhari Muslim)
فقال يا رسول الله إنى ذو مال كثير وذو
أهل ومال وحاضرة, فأخبرنى كيف أصنع وكيف أنفق؟ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: تخرج الزكاة من مالك فإنها طهرة تطهرك وتصل أقربائك
وتعرف حق المسكين والجار والسائل-رواه أحمد[7]
“Dari Anas RA berkata: Seorang dari Suku
Tamim menghadap Rasulullah SAW dan bertanya: Hai Rasulullah aku mempunyai harta
yang banyak dan mempunyai keluarga yang banyak pula serta banyak tamu-tamu yang
datang, maka berikanlah aku petunjuk bagaimana sebaiknya aku beramal dan
berinfaq? Maka Rasulullah memberikan petunjuk: Keluarkanlah zakatnya dari
hartamu itu, karena dengan mengeluarkan zakatnya kamu dapat membersihkan (harta
dan jiwamu), dan kamu dapat mempererat tali kekeluargaanmu, serta kamu mengerti
hak-hak fakir miskin, hak-hak tetangga dan hak-hak orang yang meminta-minta”
(HR Ahmad).
Hadits ini memberikan petunjuk singkat
mengenai tujuan dan manfaat zakat harta, baik tujuan teologis maupun tujuan
sosialnya. Allah memberikan rizki kepada hambanya berbeda-beda, ada yang
diberi kemudahan-kemudahan dan ada yang diberi kesulitan dan kesukaran.
Yang demikian sudah menjadi sunnatullah, tujuannya agar saling membutuhkan (QS
Az-Zukhruf,43:32). Seorang suku Tamim diberi harta yang melimpah dan mempunyai
tanggungan keluarga yang banyak. Di samping itu banyak pula orang-orang yang
datang kepadanya untuk meminta bantuan. Rasulullah SAW memberikan petunjuk agar
dikeluarkan zakatnya sehingga secara proporsional harta yang digunakan untuk
keperluan keluarga adalah harta yang sudah bersih, sedangkan harta yang
dikeluarkan untuk kelompok fakir miskin berfungsi sebagai tali kasih yang memperkokoh
persaudaraan dan kekeluargaan. Fungsi dan manfaat zakat yang lain disebutkan
oleh Wahbah antara lain[8] :
1. Menghindari kecemburuan sosial sehingga harta menjadi
aman, karena kecemburuan sosial bisa menimbulkan kerawanan di masyarakat.
2. Memberi bantuan langsung kepada fakir miskin. Apabila
mereka mempunyai keterampilan, maka uang bantuan itu dapat dipergunakan sebagi
modal usaha kecil, dan apabila tidak mempunyai kerampilan, maka akan
dipergunakan sebagai bantuan yang dapat meringankan beban hidupnya.
3. Membersihkan muzakki dari sifat-sifat yang tidak
terpuji dan tidak peduli kepada orang lain. karena orang mu’min yang telah
membiasakan membayar zakat akan menjadi orang dermawan.
4. Sebagai pernyataan rasa
syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan karunia dan memberikan
kemudahan-kemudahan mencari rizki. Bukankah banyak orang yang telah bekerja
keras dan membanting tulang tetapi rizkinya pas-pasan.
Pada
dasarnya riwayat-riwayat yang berbicara tentang mâl al-mustafâd,
semuanya berstatus hadits mauquf, yakni hanya bersambung pada thabaqat
shahabat belaka. Dalam konteks seperti ini, maka hadits-hadits tersebut
tidak bisa dijadikan hujjah untuk membenarkan adanya zakat profesi, sebab
ia didasarkan pada pendapat para shahabat. Pendapat shahabat bukanlah dalil
syara’, dan tidak absah digunakan sebagai hujjah.[9] Imam Syafi’iy menolak
berhujjah dengan pendapat para shahabat. Beliau berkata, “Tidak
diperkenankan memberi hukum atau berfatwa melainkan berdasarkan berita yang
benar yang berasal dari al-Qur’an dan as-Sunnah.”
semuanya berstatus hadits mauquf, yakni hanya bersambung pada thabaqat
shahabat belaka. Dalam konteks seperti ini, maka hadits-hadits tersebut
tidak bisa dijadikan hujjah untuk membenarkan adanya zakat profesi, sebab
ia didasarkan pada pendapat para shahabat. Pendapat shahabat bukanlah dalil
syara’, dan tidak absah digunakan sebagai hujjah.[9] Imam Syafi’iy menolak
berhujjah dengan pendapat para shahabat. Beliau berkata, “Tidak
diperkenankan memberi hukum atau berfatwa melainkan berdasarkan berita yang
benar yang berasal dari al-Qur’an dan as-Sunnah.”
4. Kajian
Fiqih
Ulama
kontemporer seperti Abdurrahman Hasan, Muhammad Abu Zahrah, Abdul Wahab Khalaf,
Wahbah Az-Zuhaili dan Yusuf Qardhawi telah mengadakan penelitian dan
memunaqasahkan argumen-argumen (adillah) yang dikemukakan oleh kedua
belah pihak, pihak Ulama yang mewajibkan zakat profesi dan pihak Ulama yang
tidak mewajibkan. Dalam kesimpulannya mereka memilih pendapat yang mewajibkan
zakat hasil profesi dengan alasan :
1. Mensyaratkan haul dalam segala jenis harta termasuk hasil
profesi (al-maal al-mustafad) tidak didukung oleh nash yang shahih
atau hasan yang dapat dijadikan landasan untuk mentakhshish dalil ‘am atau
mentaqyidi yang muthlaq.
2. Ulama shahabat dan tabi’in telah berbeda pendapat mengenai
zakat hasil profesi (al-maal al-mustafad), sebahagian mereka
mensyaratkan adanya haul dan sebahagian lagi tidak mensyaratkannya, tetapi
langsung dikeluarkan zakatnya pada saat diperolehnya. Jika terjadi demikian
maka tidak ada pendapat yang satu lebih utama dari yang lain sehingga tidak ada
yang mengharuskan berpegang pada salah satunya sehingga permasalahannya
dikembalikan kepada otoritas nash : “Apabila kamu berselisih maka
kembalikanlah kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul-Nya (al-Hadits)”
3. Kalangan Ulama yang tidak mensyaratkan haul adalah
lebih dekat kepada pengertian umum nash dan kemutlakkannya, karena nash-nash
yang menunjuk pada kewajiban zakat berlaku umum dan mutlak.
4. Apabila nash-nash yang menunjuk pada kewajiban zakat
berlaku secara umum dan mutlak, maka hasil profesi termasuk di dalamnya.
5. Mensyaratkan adanya haul pada zakat profesi akan
membebaskan kewajiban zakat kepada sebahagian besar pegawai tinggi dan para
profesional yang mendapatkan income sangat besar. Karena bisa saja hasilnya
habis digunakan untuk membiayai hidup mewah dan berfoya-foya. Dengan demikian
beban zakat hanya ditanggung oleh pekerja-pekerja menengah ke bawah yang hemat
dan rajin untuk menabung.
6. Pendapat yang mensyaratkan adanya haul pada zakat
profesi berimplikasi pada ketidak adilan dalam pembebanan zakat. Karena seorang
petani yang bekerja menggarap sawahnya berbulan-bulan ketika memperoleh hasil
sebanyak 5 wasaq (lebih kurang 12 kwintal gabah atau 7,20 kwintal beras
bernilai sekitar Rp 1800.000,-) dikenakan beban zakat 5-10 persen, sementara para
pejabat tinggi dan pemimpin perusahaan atau pekerja-pekerja professional yamng
mendapatkan uang (income) sangat besar tidak dikenakan zakat[10]
I. Nisab Zakat Profesi
dan Kadar Zakatnya
Muhammad Al-Ghazali menggunakan pendekatan
analogis (al-qiyas) dalam menentukan nisab dan kadar zakat profesi.
Beliau menyamakan jasa profesi dengan pertanian dan perkebunan dengan alasan
karena kedua-duanyanya hanya memperhitungkan keuntungan (miqdar al-dakhl),
tidak memperhitungkan modal, karena modalnya berupa lahan relatif utuh. Jalan
pikiran Muhammad Al-Ghazali ini berakar dari masalah pembebanan kewajiban
zakat. Menurut beliau obyek zakat secara garis besarnya dapat dibagi dua; Pertama
harta kekayaan yang menggunakan modal yang mungkin bertambah dan mungkin berkurang,
yaitu modal uang tunai (al-nuqud) dan modal barang-barang dagangan. Kedua
harta kekayaan yang relatif tetap yang hanya memperhitungkan keuntungan yang
masuk, seperti tanah-tanah pertanian dan lahan-lahan perkebunan. Jasa profesi
disamakan dengan jasa tanah-tanah pertanian dan lahan perkebunan dengan alasan
karena kedua-duanya tidak menghitung modal (sawah dan ladang), tetapi hanya
menghitung hasilnya saja. Berbeda dengan modal uang atau barang-barang
dagangan, dalam hal ini modal dan keuntungannya dihitung dan dijumlahkan.
Pemikiran Muhammad Al-Ghazali yang demikian ini diterapkan dalam berbagai sektor
perusahaan seperti perhotelan, angkutan, pabrik beras/huller , garmen dan
sebagainya yang mendapatkan keuntungan dari jasa atau pelayanan semata-mata. Nisabnya
12 kwintal gabah atau 7,20 kwintal beras dan kadar zakatnya 5-10%.[11]
Yusuf Qardhawi mempunyai pendapat lain, beliau mengakui
betapa rendahnya nisab sector pertanian dan betapa beratnya kadar zakat yang
diwajibkan, yaitu nisabnya 12 kwintal gabah X Rp 150.000,- = Rp
1.800.000,- atau 7.20 kwintal beras X Rp 2500,- = Rp 1.800.000,-
sedangkan kadar zakatnya 10% yaitu 120 kg gabah atau 72 kg beras = Rp
180.000,- atau paling sedikit 5% yaitu 60 kg gabah atau 36 kg beras = Rp
90.000,- (dengan perhitungan 5 wasaq X 60 sha’ X 4 mud X 0,6 kg dan setiap 1
kwintal gabah menghasilkan 60 kg beras). Yusup Qardhawi memberikan komentar
barang kali Pembuat syari’at menghendaki demikian karena hasil pertanian
menjadi bahan makanan pokok yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat.
Selanjutnya beliau menawarkan gagasan yang dianggapnya lebih
tepat, yaitu bahwa hasil profesi disamakan dengan uang mas (al-nuqud),
bukan dengan pertanian (al-zuru’). Alasannya karena gaji pegawai atau
imbalan jasa profesi selalu dibayar dengan uang tunai. Dengan demikian nisabnya
90 gram emas
atau
Rp 8.100.000,- (dengan perkiraan harga Rp 90.000,-/gram) dan kadar zakatnya
2,5% yaitu 2,25 gram atau Rp 202.500,- (1 misqal/dinar = 4,5 gram,
maka
20 misqal/dinar = 90 gram, lihat Ensiklopedi Hukum Islam, 6:1991)
Pendapat Yusuf Qardhawi ini lebih mendekati jiwa nash (mafhum)
yang membagi sumber pendapatan (income) menjadi dua bagian besar, pertama
pendapatan yang diperoleh dari hasil usaha yang baik-baik (min thayyibati
ma kasabtum), kedua pendapatan yang diperoleh dari hasil
eksploitasi kekayaan alam (min ma akhrajna lakum min al-ardhi). Maka
menyamakan hasil profesi dengan hasil usaha yang baik-baik adalah lebih dekat
jika dibandingkan dengan menyamakannya dengan hasil eksploitasi kekayaan alam.
Alasan berikutnya bahwa menentukan batasan nisab dengan sektor pertanian
sebesar Rp 1.800.000,- dengan kadar zakat sebesar Rp 180.000,- atau Rp 90.000,-
adalah memberatkan. Karena kaum tani yang memperoleh penghasilan 12 kwintal permusim
(lebih kurang selama 4 bulan) adalah rendah, mungkin masih belum termasuk
kategori orang kaya, apa lagi dengan membebankan kadar zakat yang cukup tinggi,
yaitu 10%. Hal ini bertentangan dengan prinsip zakat, yaitu diambil dari orang
kaya dan disalurkan kepada orang-orang miskin.
J. Cara Menghitung Nisab
Sebagaimana telah dikemukakan di atas
bahwa ada kalanya pegawai memperoleh gajinya secara rutin pada setiap bulan
atau setiap minggu atau setiap dua minggu dan ada kalanya tidak menentu,
misalnya seperti pengacara, konsultan, mediator, kontraktor, garmen dan
sebagainya, mereka memperoleh penghasilan menunggu klien atau order yang masuk
untuk dikerjakan. Untuk menghitung nisabnya ada dua cara:
1. Nisab dihitung sesuai dengan gaji atau jasa profesi yang
diterimanya. Apabila jumlahnya mencapai satu nisab, maka wajib bayar zakat, dan
apabila jumlahnya tidak mencapai nisab, maka zakatnya tidak wajib dibayar.
Dengan demikian zakat hanya dibebankan kepada pegawai tinggi dan para
professional kelas menengah ke atas, tidak dibebankan kepada pegawi kecil yang
menerima gaji atau hasil profesi pas-pasan. Ketentuan ini mempunyai landasan
yang kuat sebagaimana telah dijelaskan oleh atsar Shahabat dan Tabi’in di atas.
2. Dengan cara menjumlahkan seluruh pendapatan (income) baik dari
gaji maupun dari jasa profesi yang diterima berturut-turut dalam waktu yang
berdekatan. Karena dalam prakteknya amat sedikit jumlah pegawai atau pekerja
profesional yang menerima gaji atau memperoleh imbalan jasa sebesar satu nisab
(apabila diukur dengan nisab usaha perdagangan, yaitu Rp 8100.000,- tetapi
apabila diukur dengan nisab pertanian hanya berkisar Rp 1800.000,-). Dengan
demikian sebahagian besar dari pegawai dan para professional terlepas dari
kewajiban zakat. Adapun mengenai landasan hukumnya ialah seperti yang
ditetapkan oleh Ahli Fiqih dalam nisab harta ma’din, jumlah perolehan yang satu
digabungkan dengan perolehan yang lain dalam rangka menggenapkan nisab. Ulama
Ahli Fiqh memang berselisih mengenai hukumnya menggabungkan hasil-hasil
pertanian dalam satu tahun. Ulama Hanabilan berpendapat bahwa hasil-hasil
pertanian yang satu digabungkan dengan yang lain dalam satu tahun walaupun
berbeda jenis dan lokasinya untuk menggenapkan nisab. Dengan landasan ini bahwa
satu tahun merupakan satu kesatuan hukum yang utuh tak terpisahkan sebagaimana
dalam ketentuan adanya haul. Maka penggabungan jumlah gaji dan honor-honor yang
diterima dalam satu tahun dapat ditetapkan dalam rangka menghitung nisab
walaupun kenyataannya dibayar secara bertahap pada setiap bulan atau setiap
transaksi.[12]
K. Cara Mengeluarkan Zakatnya
Sebagaimana telah disebutkan di atas
tentang cara penghitungan nisab, maka cara mengeluarkan zakatnya ada dua opsi :
1. Menganalogkan zakat profesi dengan zakat penghasilan bumi
baik nisab maupun kadarnya karena kedua-duanya sama-sama hasil jasa. Maka
nisabnya senilai Rp 1.800.000,- dan zakatnya Rp 180.000,- atau Rp 90.000,-
dikeluarkan pada saat menerima gaji atau jasa profesi tersebut (wa’tu
haqqahu yauma hashadih).
2. Menganalogkan zakat profesi dengan zakat emas atau perdagangan
secara mutlak, mengingat karena kedua-duanya berbentuk usaha (kasab
al-’amal). Maka nisabnya Rp 8.100.000,- dan zakatnya Rp 202.500,- dengan
memandang bahwa tahun adalah satu kesatuan hukum yang utuh tak terpisahkan
(haul) dan seluruh pendapatan dalam tahun itu dijumlahkan dengan asumsi bahwa
zakat adalah kewajiban yang dibebankan kepada nilai (al-qimah), bukan
kepada materinya (al-’ain). Pembayarannya dapat dilaksanakan pada
akhir tahun (haul) atau dicicil pada setiap menerima gaji atau hasil profesi .[13]
3. Ada
pendapat lain yang mempertimbangkan kemaslahatan, yaitu menganalogkan nisab
dengan zakat penghasilan bumi (Rp 1.800.000,-), alasannya untuk memberikan
kemaslahatan kepada mustahik, dan menganalogkan kadar zakat dengan zakat emas
atau perdagangan (2,5% X 1.800.000,- = Rp 45.000,-), alasanya untuk
memberikan kemaslahatan kepada muzakki.
5.Pendekatan Ushul Fiqh
Adapun dalil yang digunakan oleh pihak
yang mewajibkan zakat profesi,
adalah:
adalah:
1. Berhujjah dengan apa yang disebut dengan mâl al-mustafâd. Mereka
menyatakan bahwa terhadap mâl al-mustafâd harus dizakati sebesar 1/40
begitu diterima. Mereka juga menyandarkan pada pendapat-pendapat para
shahabat, semisal Ibnu ‘Abbas, Ibnu Mas’ud, dan Mu’awiyah; sebagian tabi’in
misalnya al-Zuhriy, al-Hasan, Makhul, dan al-Bashriy.
menyatakan bahwa terhadap mâl al-mustafâd harus dizakati sebesar 1/40
begitu diterima. Mereka juga menyandarkan pada pendapat-pendapat para
shahabat, semisal Ibnu ‘Abbas, Ibnu Mas’ud, dan Mu’awiyah; sebagian tabi’in
misalnya al-Zuhriy, al-Hasan, Makhul, dan al-Bashriy.
2. Mereka juga mengqiyaskan zakat profesi dengan zakat uang dan
harta,
bahkan ada pula yang mengkaitkan dengan zakat hasil pertanian. Mereka
beralasan, jika petani saja harus mengeluarkan zakat ketika panen,
sedangkan hasilnya tidak seberapa dibanding profesi seorang dokter,
insinyur, dan lain-lain, maka betapa tidak adilnya jika zakat profesi tidak
disyariatkan dengan melalui pendekatan mafhum mikhalafah terhadap kewajiban zakat hasil pertanian. Dari sudut keadilan yang merupakan cirri utama ajaran Islam penetapan kewajiban zakat pada setiap harta yang dimiliki akan terasa sangat jelas dibandingkan dengan hanya pada kewajiban zakat pada komoditi tertentu saja yang konfensional. Petani yang saat ini kondisinya sangat kurang beruntung tetap harus berzakat apabila telah senisab. Karena itu sangat adil pula apabila zakat inipun bersifat wajib pada penghailan sepaerti dokter, konsultan, notaries dan profesi lainnya.
bahkan ada pula yang mengkaitkan dengan zakat hasil pertanian. Mereka
beralasan, jika petani saja harus mengeluarkan zakat ketika panen,
sedangkan hasilnya tidak seberapa dibanding profesi seorang dokter,
insinyur, dan lain-lain, maka betapa tidak adilnya jika zakat profesi tidak
disyariatkan dengan melalui pendekatan mafhum mikhalafah terhadap kewajiban zakat hasil pertanian. Dari sudut keadilan yang merupakan cirri utama ajaran Islam penetapan kewajiban zakat pada setiap harta yang dimiliki akan terasa sangat jelas dibandingkan dengan hanya pada kewajiban zakat pada komoditi tertentu saja yang konfensional. Petani yang saat ini kondisinya sangat kurang beruntung tetap harus berzakat apabila telah senisab. Karena itu sangat adil pula apabila zakat inipun bersifat wajib pada penghailan sepaerti dokter, konsultan, notaries dan profesi lainnya.
3. Terdapatnya kalimat umum dari QS al-Baqarah (Maa
kasabtum) terkandung maksud didalamnya makna zakat profesi atau penghasilan.
Dimana keumumannya bersifat syumuli.
6. Penutup
Masih banyak persoalan yang perlu dikaji
dalam membahas “zakat profesi” ini, terutama yang menyangkut masalah teknis. Di
samping kontroversi masalah haul, masalah penggabungan (al-dhamm) dan
pembebanan wajib zakat apakah pada benda (wujub ‘ala al-’ain) ataukah
pada nilai (wujub ‘ala al-qimah), juga masalah-masalah yang
berhubungan dengan kebutuhan biaya operasional, kebutuhan keluarga dan
pembayaran utang piutang makin sulit didefinisikan. Para Ulama mensyaratkan
harta yang wajib dizakati adalah harta milik penuh, terlepas dari jeratan utang
dan macam-macam kridit serta merupakan kelebihan dari kebutuhan hidup
keluarganya. Sekarang sudah ada syarat tambahan, yaitu harus merupakan
penghasilan bersih setelah dikurangi biaya-biaya operasional.
Persyaratan-persyaratan ini adalah logic, karena dasarnya dari petunjuk Rasulullah
SAW :
لا صدقة إلا عن ظهر غنى-رواه أحمد
“Tidak ada kewajiban zakat kecuali dari kalangan orang kaya”
(HR Ahmad)
Akan tetapi persoalannya adalah bagaimana
mengukur kebutuhan-kebutuhan keluarga? Dalam teks-teks fikih kewajiban memberi
nafkah kepada keluarga yang kaya (al-musir) hanya 2 mud dan keluarga
miskin (al-mu’sir) 1 mud. Dari asumsi ini ketentuan membayar fidyah
atas pelanggaran norma tertentu hanya disuruh memberi makan orang-orang miskin
untuk masing-masingnya hanya 1 mud, berapa nilainya? Sementara kebutuhan
keluarga sekarang sudah tak terukur, meliputi kebutuhan pangan, sandang, papan,
pendidikan, kesehatan, listrik, kulkas, telephon, PAM dan lain-lainnya hingga
sulit dihitung jumlahnya.
Belum lagi mengkaji masalah utang-piutang,
pada zaman klasik kasus utang umumnya untuk menutupi kebutuhan primair yang
sangat mendesak (dlaruriyat), tetapi sekarang menyentuh
kebutuhan sekunder (hajiyat) bahkan kebutuhan tersier (tahsiniyat).
Banyak perusahaan yang memiliki pinjaman lebih besar dari pada jumlah saham,
dan banyak pula orang-orang yang mempunyai kridit mobil, rumah mewah dan
fasilitas lain yang serba lux yang harus dibayar dalam jumlah yang sangat besar
dan diangsur bertahun-tahun lamanya. Tidak wajib zakatkah mereka?
Marilah kita merenung, dan marilah kita mensyukuri
nikmat Allah SWT yang telah diberikan kepada kita, kemudian marilah kita
beramal shaleh dan beramal shadaqah, minimalnya 2,5% dari rizki yang telah kita
terima, mudah-mudahan Allah akan memberikan keberkahan-keberkahan kepada kita,
sehingga rizkinya semakin bertambah dan amalnya semakin bertambah pula. Amin
DAFTAR PUSTAKA
[4] Mahmud Syaltut.
Al-Fatawa. Kairo: dar al-qalam, 1966. h, 114
[5] Yusuf mal baqa'i.
al-qamus al-muhith. Beirut:dar
al- fikr, 1995.h, 719
[6] Quraisy Shihab. Tafsir
al- Misbah. Jakarta:
Lentera Hati, 2002. h, 576
[7] Maktabah Syamilah.
[8] Op Cit. Wahbah al-
Zuhailiy.
[9] Taqiyuddin
an-Nabhani. al-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, juz III, hal. 478
[11] Ibid.h. 510
[12] Ibid. h. 514-515
[13]Ibid. h.
519-520
Komentar
Posting Komentar