zakat profesi


ZAKAT PROFESI

A. Pendahuluan
Istilah Zakat Profesi belum dikenal di zaman Rosulullah SAW, bahkan hingga masa berikutnya selama ratusan tahun. Apalagi  kitab-kitab Fiqih yang menjadi rujukan umat ini pun tidak mencantumkan pembahasan bab zakat profesi didalamnya. Harus diingat bahwa meski di zaman Rosulullah SAW telah ada beragam profesi, namun kondisinya berbeda dengan zaman sekarang dari segi penghasilan. Dizaman itu pemghasilan yang cukup besar dan dapat membuat seseorang menjadi kaya berbeda dengan zaman sekarang. Diantaranya adalah berdagang, bertani dan berternak. Sebaliknya, di zaman sekarang ini berdagang tidak otomatis membuat pelakunya menjadi kaya, sebagaimana juga bertani dan berternak.. Sebaliknya, profesi-profesi tertentu yang dahulu sudah ada, tapi dari sisi pendapatan saat itu tidaklah merupakan kerja yang mendatangkan materi besar. Di zaman sekarang ini justru profesi-profesi inilah yang mendatangkan sejumlah besar harta dalam waktu yang singkat. Seperti Dokter Spesialis, Arsitek, Komputer, Programer, Pengacara, dan sebagainya. Nilainya bisa ratusan kali lipat dari petani dan peternak miskin di desa-desa.
Perubahan Sosial inilah yang mendasari ijtihad para ulama hari ini untuk melihat kembali cara pandang kita dalam menentukan: siapakah orang kaya dan siapakah orang miskin? Intinya zakat itu adalah mengumpulkan harta orang kaya untuk diberikan pada orang miskin. Dizaman dahulu, orang kaya identik dengan Pedagang, Petani, dan Peternak. Tapi di zaman sekarang ini, orang kaya adalah para profesional yang bergaji besar. Zaman berubah namun prinsip zakat tidak berubah. Yang berubah adalah realitas di masyarakat. Tapi intinya orang kaya menyisihkan uangnya untuk orang miskin. Dan itu adalah intisari Zakat. Dengan demikian, zakat profesi merupakan ijtihad pada ulama di masa kini yang nampaknya berangkat dari ijtihad yang cukup memiliki alasan dan dasar yang juga cukup kuat. Akan tetapi tidak semua ulama sepakat dengan hal tersebut. Bagaimana sesungguhnya hukum zakat profesi? Wajibkah penghasilan setiap profesi dikeluarkan zakatnya? Adakah dalil Al-Qur'an dan As-Sunnah yang menjadi dasarnya? Berapakah Nisab dan Prosentasinya? Bagaimana cara pembayarannya? Agaknya inilah yang akan Penulis kemukakan dalam makalah yang sangat sederhana ini. Wallahu a'lam bishawwab.
B. Pengertian Zakat Ditinjau Menurut Kajian Fiqih
            Zakat menurut bahasa berarti kesuburan, kesucian dan keberkahan sesuai dengan firman Allah di dalam al-Qur'an QS. At-taubah : 103
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيم
"Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."
            Kata zakat semula bermakna: al-thaharah (bersih), al-nama’ (tumbuh, berkembang), al-barakah (anugerah yang lestari), al-madh (terpuji) dan al-shalah (kesalehan). Semua makna tersebut telah dipergunakan baik di dalam Al-Qur’an maupun di dalam Al-Hadits. Kemudian kata zakat dipergunakan untuk menyebut nama hak Allah yang harus dikeluarkan oleh orang kaya dan disalurkan kepada fakir miskin dengan harapan agar memperoleh keberkahan dan kebersihan jiwa serta dapat menunbuhkan kebaikan-kebaikan yang banyak[1]. Sedangkan kata profesi berasal dari bahasa Inggris “profession” yang artinya pekerjaan (John M. Echols, Kamus Inggris Indonesia, 1997:449). Dengan demikian yang dimaksud “zakat profesi” dalam tulisan ini ialah zakat hasil kerja dari pekerja-pekerja yang bergerak di bidang jasa seperti pegawai negeri, pegawai perusahaan, dokter, pengacara dan sebagainya.
Dalam prakteknya pekerjaan yang diserap di lapangan jasa (bukan produksi) dapat dibagi menjadi dua bagian; pertama pekerjaan yang tidak terikat dengan pihak lain (al-mihan al-hurrah) dan kedua pekerjaan yang terikat dengan pihak lain atau dikenal sebagai kerja profesi (kasb al-’amal).  Yang pertama adalah orang-orang yang bekerja memberikan pelayanan atau jasa tanpa terikat dengan suatu kontrak atau perjanjian dengan pihak lain. Contohnya seperti dokter yang melakukan praktek umum, notaries, seniman, pengacara, artis, konsultan (termasuk mediator atau calo), dan sebagainya. Masing-masing memperoleh upah atau imbalan yang cukup besar dari jasa dan pelayanan yang mereka kerjakan pada setiap hari atau setiap minggu atau setiap praktek dan setiap tampil. Adapun yang kedua yaitu orang-orang yang melaksanakan pekerjaannya melalui sebuah kontrak atau perjanjian dengan pihak lain, misalnya seperti pegawai negeri, dinas ketentaraan, polisi, pegawai pabrik, pegawai perusahaan, atau menjadi pekerja pada perorangan seperti TKI dan TKW yang memperoleh gaji secara rutin pada setiap bulan.[2]
Selain dari kata"zakat" disebut juga dengan sedekah dari kata kerja shadaqa yang berarti benar, karena ketaatan seorang Muslim melakukan sedekah, merupakan sebagai suatu tanda kesucian hatinya dan kebenaran imannya.
            Adapun pengertiannya menurut syara' yang telah dirumuskan oleh Fuqaha'  adalah nama harta yang dikeluarkan manusia dari hak Allah, untuk diberikan kepada fakir miskin. [3] sedangkan definisi yang diberikan oleh Mahmud Syaltut dalam kitabnya Al-fatawa, zakat adalah sebagian harta yang dikeluarkan oleh hartawan untuk diberikan kepada saudaranya yang fakir miskin dan untuk kepentingan umum yang meliputi penertiban dan peningkatan taraf hidup umat. [4]Adapun harta benda yang dikenai kewajiban zakat adalah: emas dan perak, barang-barang perniagaan, hasil tanaman dan buah, hewan ternak, dan hasil tambang dan rikaz. Sejatinya tidak hanya benda-benda ini yang dikenai zakat, maka untuk sampainya pada makashid syari'ah dalam persoalan zakat maka para mujtahid mengembangkan,merentangkan hokum dengan metoda ijtihad mereka sehingga terdapat hal-hal lain yang dikenai zakat. Termasuk di dalamnya zakat profesi atau zakat mata pencarian. Andai saja ayat tentang zakat ini dipahami secara konteks tentu betapa banyak orang-orang yang terlepas dari kewajiban zakat, padahal dia sebenarnya lebih pantas untuk berzakat bila dibandingkan pada orang-orang yang dikenai sasaran zakat seperti yang telah diuraikan di atas. Mengenai zakat profesi secara zhaher ayat memang tidak disebutkan secara jelas namun setidaknya dapat dipahami dibalik keumuman lafas dari Q.S At-Taubah ayat 267  berikut akan penulis kemukakan:
1. Zakat Profesi
            Dalam bahasa arab kata "profesi" diterjemahkan dengan dua kata:
a)                            Yang berarti lebih mengandalkan otak oleh karena itu kaum professional disebut al-mihaniyyun atau ashhabul mihnah seperti advokat, dokter, konsultan, pekerja kantoran.
b)                           Yaitu pekerjaan yang mengandalkan fisik dan otot. Missal Pengrajin, mekanik, bengkel, tukang las, tukang jahit dan lain sebagainya.[5]

2. Ayat-ayat al Qur'an tentang zakat profesi
Dasar hukum kewajiban zakat secara umum disebutkan baik dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits yang antara lain sebagai berikut :
وأقيموا الصلاة وآتوا الزكاة-البقرة
“Dan dirikanlah shalat  dan tunaikanlah zakat…” (QS Al-Baqarah,2:43)
خذ من أموالهم صدقة تطهرهم وتزكيهم بها -التوبة 103
“Ambillah zakat dari sebahagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka…” (QS At-Taubah,9:103)
Dan dasar hukum zakat profesi dapat diambil dari mafhum ayat sebagai berikut :
يا أيها الذين أمنوا أنفقوا من طيبات ما كسبتم ومما أخرجنا لكم من الارض-البقرة 267
Hai orang-orang yang beriman, infaqkanlah sebahagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebahagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu …” (QS Al-Baqarah,2:267)
وهوالذى أنشأ جنت معروشت وغير معروشت والنخل والزرع مختلفا أكله والزيتون والرمان متشابها وغير متشابه كلوا من ثمره إذا أثمر وآتوا حقه يوم حصاده-الأنعام 141
Dan Dia-lah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) apabila ia berbuah dan tunaikanlah haknya pada hari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya)…” (QS Al-An’am,6:141)
Beberapa ayat tersebut menunjukkan kewajiban zakat dan tujuan serta teknis penarikannya. Dalam garis besarnya obyek zakat meliputi keseluruhan hasil usaha (min thayyibati ma kasabtum) dan keseluruhan komoditas yang mencakup flora dan fauna (min ma akhrajna lakum min al-ardli). Dan pada prinsipnya sistem zakat adalah sistem pemerataan kesejahteraan masyarakat yang diatur melalui penarikan harta dari orang-orang kaya dan disalurkan kepada orang-orang miskin.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الأرْضِ وَلا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ

            ’’Hai orang-orang yang     beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.’’

Ayat ini menguraikan tentang nafkah atau zakat serta sifat dari zakat tersebut. Bahwa harta yang dizakatkan itu adalah harta yang baik-baik. Dan dari apa yang dinafkahkan oleh maanusia itu dari  hasil usaha dan dari apa yang dikeluarkan Allah dari perut bumi.
Tentu saja hasil usaha manusia bermacam-macam, bahkan dari hari ke hari dapat muncul usaha-usaha baru yang belum dikenal sebalumnya, seperti usaha jasa dengan keaneka ragamannya. Semuanya dicakup oleh ayat ini, dan semuanya perlu dinafkahkan sebagian darinya. Kalau memahami perintah ayat ini dalam arti perintah wajib, maka semua hasil usaha apapun bentuknya, wajib dizakati  termasuk gaji yang di peroleh seorang peawai, jika gajinya telah memenuhi syarat-syarat  yang ditetapkan dalam konteks zakat. Demikian juga dengan hasil pertanian, baik yang telah dikenal pada masa Nabi maupun yang belum dikenal, atau yang tidak dikenal ditempat turunnya ayat. Hasil pertanian seperti cengkeh, lada, buah-buahan dan lain-lain dicakup  oleh makna kalimat  yang Kami keluarkan dari bumi. [6]

3. Hadis-hadis tentang zakat penghasilan(profesi)
Dasar hukum zakat profesi dapat diambil dari mafhum hadist sebagai berikut :
عن ابن عباس رضى الله عنه قال:أن النبى صلى الله عليه وسلم لما بعث معاذا الى اليمن قال: إنك تأتى قوما من أهل الكتاب, فادعهم الى شهادة أن لااله الا الله وأنى رسول الله,فإن هم أطاعوك لذلك فأعلمهم أن الله افترض عليهم خمس صلوات فى كل يوم وليلة, فإن أطاعوك لذلك فأعلمهم أن الله افترض عليهم صدقة تؤخذ من أغنيائهم فترد على فقرائهم, فإن هم أطاعوك لذلك فإياك وكرائم أموالهم,واتق دعوة المظلوم فإنه ليس بينها وبين الله حجاب -رواه الجماعة
Dari Ibnu Abbas RA berkata: bahwa ketika Nabi SAW mengutus Mu’adz ke negeri Yaman beliau memberikan amanat (kepadanya): Sesungguhnya engkau akan menghadapi masyarakat Ahli Kitab, maka ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa aku adalah utusan Allah; apabila mereka telah taat kepadamu mengenai hal itu, maka beritahukan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan shalat lima kali sehari semalam; apabila mereka telah taat kepadamu mengenai hal itu, maka beritahukan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan shadaqah (zakat) kepada mereka, yang diambil dari orang-orang kaya dan disalurkan kepada orang-orang miskin dari kalangan mereka. Apabila mereka telah taat kepadamu mengenai hal itu, maka kamu hendaklah berhati hati, jangan mengambil yang baik-baiknya saja dari harta mereka, dan hindarilah doa orang-orang yang teraniaya, karena antara doanya dengan Allah tidak ada hijab” (HR Sejumlah besar Ahli Hadits)
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم بنى الاسلام على خمس:شهادة أن لا اله إلا الله وأن محمدا رسول الله وإقام الصلاة وإيتاء الزكاة وحج البيت وصوم رمضان-متفق عليه
“Rasulullah SAW bersabda: Agama Islam didirikan di atas lima pilar, yaitu bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, pergi haji ke Baitullah, dan berpuasa di bulan Ramadhan” (HR Bukhari Muslim)
فقال يا رسول الله إنى ذو مال كثير وذو أهل ومال وحاضرة, فأخبرنى كيف أصنع وكيف أنفق؟ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: تخرج الزكاة من مالك فإنها طهرة تطهرك وتصل أقربائك وتعرف حق المسكين والجار والسائل-رواه أحمد[7]
 Dari Anas RA berkata: Seorang dari Suku Tamim menghadap Rasulullah SAW dan bertanya: Hai Rasulullah aku mempunyai harta yang banyak dan mempunyai keluarga yang banyak pula serta banyak tamu-tamu yang datang, maka berikanlah aku petunjuk bagaimana sebaiknya aku beramal dan berinfaq? Maka Rasulullah memberikan petunjuk: Keluarkanlah zakatnya dari hartamu itu, karena dengan mengeluarkan zakatnya kamu dapat membersihkan (harta dan jiwamu), dan kamu dapat mempererat tali kekeluargaanmu, serta kamu mengerti hak-hak fakir miskin, hak-hak tetangga dan hak-hak orang yang meminta-minta” (HR Ahmad).
Hadits ini memberikan petunjuk singkat mengenai tujuan dan manfaat zakat harta, baik tujuan teologis maupun tujuan sosialnya. Allah memberikan rizki kepada hambanya berbeda-beda, ada yang diberi  kemudahan-kemudahan dan ada yang diberi kesulitan dan kesukaran. Yang demikian sudah menjadi sunnatullah, tujuannya agar saling membutuhkan (QS Az-Zukhruf,43:32). Seorang suku Tamim diberi harta yang melimpah dan mempunyai tanggungan keluarga yang banyak. Di samping itu banyak pula orang-orang yang datang kepadanya untuk meminta bantuan. Rasulullah SAW memberikan petunjuk agar dikeluarkan zakatnya sehingga secara proporsional harta yang digunakan untuk keperluan keluarga adalah harta yang sudah bersih, sedangkan harta yang dikeluarkan untuk kelompok fakir miskin berfungsi sebagai tali kasih yang memperkokoh persaudaraan dan kekeluargaan. Fungsi dan manfaat zakat yang lain disebutkan oleh Wahbah antara lain[8] :
1. Menghindari kecemburuan sosial sehingga harta menjadi aman, karena kecemburuan sosial bisa menimbulkan kerawanan di masyarakat.
2. Memberi bantuan langsung kepada fakir miskin. Apabila mereka mempunyai keterampilan, maka uang bantuan itu dapat dipergunakan sebagi modal usaha kecil, dan apabila tidak mempunyai kerampilan, maka akan dipergunakan sebagai bantuan yang dapat meringankan beban hidupnya.
3. Membersihkan muzakki dari sifat-sifat yang tidak terpuji dan tidak peduli kepada orang lain. karena orang mu’min yang telah membiasakan membayar zakat akan menjadi orang dermawan.
4.  Sebagai pernyataan rasa syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan karunia dan memberikan kemudahan-kemudahan mencari rizki. Bukankah banyak orang yang telah bekerja keras dan membanting tulang tetapi rizkinya pas-pasan.
Pada dasarnya riwayat-riwayat yang berbicara tentang mâl al-mustafâd,
semuanya berstatus hadits mauquf, yakni hanya bersambung pada thabaqat
shahabat belaka. Dalam konteks seperti ini, maka hadits-hadits tersebut
tidak bisa dijadikan hujjah untuk membenarkan adanya zakat profesi, sebab
ia didasarkan pada pendapat para shahabat. Pendapat shahabat bukanlah dalil
syara’, dan tidak absah digunakan sebagai hujjah.[9] Imam Syafi’iy menolak
berhujjah dengan pendapat para shahabat. Beliau berkata, “Tidak
diperkenankan memberi hukum atau berfatwa melainkan berdasarkan berita yang
benar yang berasal dari al-Qur’an dan as-Sunnah.”
4. Kajian Fiqih
            Ulama kontemporer seperti Abdurrahman Hasan, Muhammad Abu Zahrah, Abdul Wahab Khalaf, Wahbah Az-Zuhaili dan Yusuf Qardhawi telah mengadakan penelitian dan memunaqasahkan argumen-argumen (adillah) yang dikemukakan oleh kedua belah pihak, pihak Ulama yang mewajibkan zakat profesi dan pihak Ulama yang tidak mewajibkan. Dalam kesimpulannya mereka memilih pendapat yang mewajibkan zakat hasil profesi dengan alasan :
1. Mensyaratkan haul dalam segala jenis harta termasuk hasil profesi (al-maal al-mustafad) tidak didukung oleh nash yang shahih atau hasan yang dapat dijadikan landasan untuk mentakhshish dalil ‘am atau mentaqyidi yang muthlaq.
2. Ulama shahabat dan tabi’in telah berbeda pendapat mengenai zakat hasil profesi (al-maal al-mustafad), sebahagian mereka mensyaratkan adanya haul dan sebahagian lagi tidak mensyaratkannya, tetapi langsung dikeluarkan zakatnya pada saat diperolehnya. Jika terjadi demikian maka tidak ada pendapat yang satu lebih utama dari yang lain sehingga tidak ada yang mengharuskan berpegang pada salah satunya sehingga permasalahannya dikembalikan kepada otoritas nash : “Apabila kamu berselisih maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul-Nya (al-Hadits)
3. Kalangan Ulama yang tidak mensyaratkan haul adalah lebih dekat kepada pengertian umum nash dan kemutlakkannya, karena nash-nash yang menunjuk pada kewajiban zakat berlaku umum dan mutlak.
4.  Apabila nash-nash yang menunjuk pada kewajiban zakat berlaku secara umum dan mutlak, maka hasil profesi termasuk di dalamnya.
5. Mensyaratkan adanya haul pada zakat profesi akan membebaskan kewajiban zakat kepada sebahagian besar pegawai tinggi dan para profesional yang mendapatkan income sangat besar. Karena bisa saja hasilnya habis digunakan untuk membiayai hidup mewah dan berfoya-foya. Dengan demikian beban zakat hanya ditanggung oleh pekerja-pekerja menengah ke bawah yang hemat dan rajin untuk menabung.
6. Pendapat yang mensyaratkan adanya haul pada zakat profesi berimplikasi pada ketidak adilan dalam pembebanan zakat. Karena seorang petani yang bekerja menggarap sawahnya berbulan-bulan ketika memperoleh hasil sebanyak 5 wasaq (lebih kurang 12 kwintal gabah atau 7,20 kwintal beras bernilai sekitar Rp 1800.000,-) dikenakan beban zakat 5-10 persen, sementara para pejabat tinggi dan pemimpin perusahaan atau pekerja-pekerja professional yamng mendapatkan uang (income) sangat besar tidak dikenakan zakat[10]
I.     Nisab Zakat Profesi  dan Kadar Zakatnya
Muhammad Al-Ghazali menggunakan pendekatan analogis (al-qiyas) dalam menentukan nisab dan kadar zakat profesi. Beliau menyamakan jasa profesi dengan pertanian dan perkebunan dengan alasan karena kedua-duanyanya hanya memperhitungkan keuntungan (miqdar al-dakhl), tidak memperhitungkan modal, karena modalnya berupa lahan relatif utuh. Jalan pikiran Muhammad Al-Ghazali ini berakar dari masalah pembebanan kewajiban zakat. Menurut beliau obyek zakat secara garis besarnya dapat dibagi dua; Pertama harta kekayaan yang menggunakan modal yang mungkin bertambah dan mungkin berkurang, yaitu modal uang tunai (al-nuqud) dan modal barang-barang dagangan. Kedua harta kekayaan yang relatif tetap yang hanya memperhitungkan keuntungan yang masuk, seperti tanah-tanah pertanian dan lahan-lahan perkebunan. Jasa profesi disamakan dengan jasa tanah-tanah pertanian dan lahan perkebunan dengan alasan karena kedua-duanya tidak menghitung modal (sawah dan ladang), tetapi hanya menghitung hasilnya saja. Berbeda dengan modal uang atau barang-barang dagangan, dalam hal ini modal dan keuntungannya dihitung dan dijumlahkan. Pemikiran Muhammad Al-Ghazali yang demikian ini diterapkan dalam berbagai sektor perusahaan seperti perhotelan, angkutan, pabrik beras/huller , garmen dan sebagainya yang mendapatkan keuntungan dari jasa atau pelayanan semata-mata. Nisabnya 12 kwintal gabah atau 7,20 kwintal beras  dan kadar zakatnya 5-10%.[11]
Yusuf Qardhawi mempunyai pendapat lain, beliau mengakui betapa rendahnya nisab sector pertanian dan betapa beratnya kadar zakat yang diwajibkan, yaitu nisabnya 12 kwintal gabah X Rp 150.000,- = Rp 1.800.000,-  atau 7.20 kwintal beras X Rp 2500,- = Rp 1.800.000,- sedangkan kadar zakatnya 10%  yaitu 120 kg gabah atau 72 kg beras = Rp 180.000,-  atau paling sedikit 5% yaitu 60 kg gabah atau 36 kg beras = Rp 90.000,- (dengan perhitungan 5 wasaq X 60 sha’ X 4 mud X 0,6 kg dan setiap 1 kwintal gabah menghasilkan 60 kg beras). Yusup Qardhawi memberikan komentar barang kali Pembuat syari’at menghendaki demikian karena hasil pertanian menjadi bahan makanan pokok yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat.
Selanjutnya beliau menawarkan gagasan yang dianggapnya lebih tepat, yaitu bahwa hasil profesi disamakan dengan uang mas (al-nuqud), bukan dengan pertanian (al-zuru’). Alasannya karena gaji pegawai atau imbalan jasa profesi selalu dibayar dengan uang tunai. Dengan demikian nisabnya 90 gram emas atau              Rp 8.100.000,- (dengan perkiraan harga Rp 90.000,-/gram) dan kadar zakatnya 2,5% yaitu 2,25 gram atau Rp 202.500,- (1 misqal/dinar = 4,5 gram, maka               20 misqal/dinar = 90 gram, lihat Ensiklopedi Hukum Islam, 6:1991)
Pendapat Yusuf Qardhawi ini lebih mendekati jiwa nash (mafhum) yang membagi sumber pendapatan (income) menjadi dua bagian besar, pertama pendapatan yang diperoleh dari hasil usaha yang baik-baik (min thayyibati ma kasabtum), kedua pendapatan yang diperoleh dari hasil eksploitasi kekayaan alam (min ma akhrajna lakum min al-ardhi). Maka menyamakan hasil profesi dengan hasil usaha yang baik-baik adalah lebih dekat jika dibandingkan dengan menyamakannya dengan hasil eksploitasi kekayaan alam. Alasan berikutnya bahwa menentukan batasan nisab dengan sektor pertanian sebesar Rp 1.800.000,- dengan kadar zakat sebesar Rp 180.000,- atau Rp 90.000,- adalah memberatkan. Karena kaum tani yang memperoleh penghasilan 12 kwintal permusim (lebih kurang selama 4 bulan) adalah rendah, mungkin masih belum termasuk kategori orang kaya, apa lagi dengan membebankan kadar zakat yang cukup tinggi, yaitu 10%. Hal ini bertentangan dengan prinsip zakat, yaitu diambil dari orang kaya dan disalurkan kepada orang-orang miskin.
J.     Cara Menghitung Nisab
Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa ada kalanya pegawai memperoleh gajinya secara rutin pada setiap bulan atau setiap minggu atau setiap dua minggu dan ada kalanya tidak menentu, misalnya seperti pengacara, konsultan, mediator, kontraktor, garmen dan sebagainya, mereka memperoleh penghasilan menunggu klien atau order yang masuk untuk dikerjakan. Untuk menghitung nisabnya ada dua cara:
1.      Nisab dihitung sesuai dengan gaji atau jasa profesi yang diterimanya. Apabila jumlahnya mencapai satu nisab, maka wajib bayar zakat, dan apabila jumlahnya tidak mencapai nisab, maka zakatnya tidak wajib dibayar. Dengan demikian zakat hanya dibebankan kepada pegawai tinggi dan para professional kelas menengah ke atas, tidak dibebankan kepada pegawi kecil yang menerima gaji atau hasil profesi pas-pasan. Ketentuan ini mempunyai landasan yang kuat sebagaimana telah dijelaskan oleh atsar Shahabat dan Tabi’in di atas.
2.      Dengan cara menjumlahkan seluruh pendapatan (income) baik dari gaji maupun dari jasa profesi yang diterima berturut-turut dalam waktu yang berdekatan. Karena dalam prakteknya amat sedikit jumlah pegawai atau pekerja profesional yang menerima gaji atau memperoleh imbalan jasa sebesar satu nisab (apabila diukur dengan nisab usaha perdagangan, yaitu Rp 8100.000,- tetapi apabila diukur dengan nisab pertanian hanya berkisar Rp 1800.000,-). Dengan demikian sebahagian besar dari pegawai dan para professional terlepas dari kewajiban zakat. Adapun mengenai landasan hukumnya ialah seperti yang ditetapkan oleh Ahli Fiqih dalam nisab harta ma’din, jumlah perolehan yang satu digabungkan dengan perolehan yang lain dalam rangka menggenapkan nisab. Ulama Ahli Fiqh memang berselisih mengenai hukumnya menggabungkan hasil-hasil pertanian dalam satu tahun. Ulama Hanabilan berpendapat bahwa hasil-hasil pertanian yang satu digabungkan dengan yang lain dalam satu tahun walaupun berbeda jenis dan lokasinya untuk menggenapkan nisab. Dengan landasan ini bahwa satu tahun merupakan satu kesatuan hukum yang utuh tak terpisahkan sebagaimana dalam ketentuan adanya haul. Maka penggabungan jumlah gaji dan honor-honor yang diterima dalam satu tahun dapat ditetapkan dalam rangka menghitung nisab walaupun kenyataannya dibayar secara bertahap pada setiap bulan atau setiap transaksi.[12]
K.    Cara Mengeluarkan Zakatnya
Sebagaimana telah disebutkan di atas tentang cara penghitungan nisab, maka cara mengeluarkan zakatnya ada dua opsi :
1.      Menganalogkan zakat profesi dengan  zakat penghasilan bumi baik nisab maupun kadarnya karena kedua-duanya sama-sama hasil jasa. Maka nisabnya senilai Rp 1.800.000,- dan zakatnya Rp 180.000,- atau Rp 90.000,- dikeluarkan pada saat menerima gaji atau jasa profesi tersebut (wa’tu haqqahu yauma hashadih).
2.      Menganalogkan zakat profesi dengan zakat emas atau perdagangan secara mutlak, mengingat karena kedua-duanya berbentuk usaha (kasab al-’amal). Maka nisabnya Rp 8.100.000,- dan zakatnya Rp 202.500,- dengan memandang bahwa tahun adalah satu kesatuan hukum yang utuh tak terpisahkan (haul) dan seluruh pendapatan dalam tahun itu dijumlahkan dengan asumsi bahwa zakat adalah kewajiban yang dibebankan kepada nilai (al-qimah), bukan kepada materinya (al-’ain). Pembayarannya dapat dilaksanakan pada akhir tahun (haul) atau dicicil pada setiap menerima gaji atau hasil profesi .[13]
3.      Ada pendapat lain yang mempertimbangkan kemaslahatan, yaitu menganalogkan nisab dengan zakat penghasilan bumi (Rp 1.800.000,-), alasannya untuk memberikan kemaslahatan kepada mustahik, dan menganalogkan kadar zakat dengan zakat emas atau perdagangan (2,5% X 1.800.000,- =  Rp 45.000,-), alasanya untuk memberikan kemaslahatan kepada muzakki.
5.Pendekatan Ushul Fiqh
Adapun dalil yang digunakan oleh pihak yang mewajibkan zakat profesi,
adalah:
1.      Berhujjah dengan apa yang disebut dengan mâl al-mustafâd. Mereka
menyatakan bahwa terhadap mâl al-mustafâd harus dizakati sebesar 1/40
begitu diterima. Mereka juga menyandarkan pada pendapat-pendapat para
shahabat, semisal Ibnu ‘Abbas, Ibnu Mas’ud, dan Mu’awiyah; sebagian tabi’in
misalnya al-Zuhriy, al-Hasan, Makhul, dan al-Bashriy.
2.      Mereka juga mengqiyaskan zakat profesi dengan zakat uang dan harta,
bahkan ada pula yang mengkaitkan dengan zakat hasil pertanian. Mereka
beralasan, jika petani saja harus mengeluarkan zakat ketika panen,
sedangkan hasilnya tidak seberapa dibanding profesi seorang dokter,
insinyur, dan lain-lain, maka betapa tidak adilnya jika zakat profesi tidak
disyariatkan dengan melalui pendekatan mafhum mikhalafah terhadap kewajiban zakat hasil pertanian. Dari sudut keadilan yang merupakan cirri utama ajaran Islam penetapan kewajiban zakat pada setiap harta yang dimiliki akan terasa sangat jelas dibandingkan dengan hanya pada kewajiban zakat pada komoditi tertentu saja yang konfensional. Petani yang saat ini kondisinya sangat kurang beruntung tetap harus berzakat apabila telah senisab. Karena itu sangat adil pula apabila zakat inipun bersifat wajib pada penghailan sepaerti dokter, konsultan, notaries dan profesi lainnya.
3.      Terdapatnya kalimat umum dari QS al-Baqarah (Maa kasabtum) terkandung maksud didalamnya makna zakat profesi atau penghasilan. Dimana keumumannya bersifat syumuli.
6. Penutup
Masih banyak persoalan yang perlu dikaji dalam membahas “zakat profesi” ini, terutama yang menyangkut masalah teknis. Di samping kontroversi masalah haul, masalah penggabungan (al-dhamm) dan pembebanan wajib zakat apakah pada benda (wujub ‘ala al-’ain) ataukah pada nilai (wujub ‘ala al-qimah), juga masalah-masalah yang berhubungan dengan kebutuhan biaya operasional, kebutuhan keluarga dan pembayaran utang piutang makin sulit didefinisikan. Para Ulama mensyaratkan harta yang wajib dizakati adalah harta milik penuh, terlepas dari jeratan utang dan macam-macam kridit serta merupakan kelebihan dari kebutuhan hidup keluarganya. Sekarang sudah ada syarat tambahan, yaitu harus merupakan penghasilan bersih setelah dikurangi biaya-biaya operasional. Persyaratan-persyaratan ini adalah logic, karena dasarnya dari petunjuk Rasulullah SAW :
لا صدقة إلا عن ظهر غنى-رواه أحمد
Tidak ada kewajiban zakat kecuali dari kalangan orang kaya” (HR Ahmad)
Akan tetapi persoalannya adalah bagaimana mengukur kebutuhan-kebutuhan keluarga? Dalam teks-teks fikih kewajiban memberi nafkah kepada keluarga yang kaya (al-musir) hanya 2 mud dan keluarga miskin (al-mu’sir) 1 mud. Dari asumsi ini ketentuan membayar fidyah atas pelanggaran norma tertentu hanya disuruh memberi makan orang-orang miskin untuk masing-masingnya hanya 1 mud, berapa nilainya? Sementara kebutuhan keluarga sekarang sudah tak terukur, meliputi kebutuhan pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, listrik, kulkas, telephon, PAM dan lain-lainnya hingga sulit dihitung jumlahnya.
Belum lagi mengkaji masalah utang-piutang, pada zaman klasik kasus utang umumnya untuk menutupi kebutuhan primair yang sangat mendesak (dlaruriyat), tetapi sekarang menyentuh kebutuhan sekunder (hajiyat) bahkan kebutuhan tersier (tahsiniyat). Banyak perusahaan yang memiliki pinjaman lebih besar dari pada jumlah saham, dan banyak pula orang-orang yang mempunyai kridit mobil, rumah mewah dan fasilitas lain yang serba lux yang harus dibayar dalam jumlah yang sangat besar dan diangsur bertahun-tahun lamanya. Tidak wajib zakatkah mereka?
Marilah kita merenung, dan marilah kita mensyukuri nikmat Allah SWT yang telah diberikan kepada kita, kemudian marilah kita beramal shaleh dan beramal shadaqah, minimalnya 2,5% dari rizki yang telah kita terima, mudah-mudahan Allah akan memberikan keberkahan-keberkahan kepada kita, sehingga rizkinya semakin bertambah dan amalnya semakin bertambah pula. Amin















DAFTAR PUSTAKA








[1]  Sayyid Sabiq. Fiqhus sunnah, jilid I, cetakan I. Beirut: Dar al-Fikr, 1977,h.276
[2]  Wahbah al-zuhailiy. Fiqhul Islam wa adillatuhu  II. Beirut: dar al-Fikr.h. 865-866
[3]  Ibid. Sayyid Sabiq.
[4] Mahmud Syaltut. Al-Fatawa. Kairo: dar al-qalam, 1966. h, 114
[5] Yusuf mal baqa'i. al-qamus al-muhith. Beirut:dar al- fikr, 1995.h, 719
[6] Quraisy Shihab. Tafsir al- Misbah. Jakarta: Lentera Hati, 2002. h, 576
[7] Maktabah Syamilah.
[8] Op Cit. Wahbah al- Zuhailiy.
[9] Taqiyuddin an-Nabhani. al-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, juz III, hal. 478
[10]  Yusuf al-Qardhawi. Fiqhus Sunnah. (Beirut: Muassat al-Risalah, 1973), cet ke-2, h. 505-509
[11] Ibid.h. 510
[12] Ibid. h. 514-515
[13]Ibid. h. 519-520

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PASAMBAHAN MAKAN BUKITTINGGI

PIdato Pendek " Man Jadda Wajada "

Doa harian muslim