PENILAIAN KINERJA GURU
PENILAIAN KINERJA
Pengertian Penilaian Kinerja
Penilaian
prestasi kerja menurut Utomo, Tri Widodo W. adalah proses untuk mengukur
prestasi kerja pegawai berdasarkan peraturan yang telah ditetapkan, dengan cara
membandingkan sasaran (hasil kerjanya) dengan persyaratan deskripsi pekerjaan
yaitu standar pekerjaan yang telah ditetapkan selama periode tertentu. Standar
kerja tersebut dapat dibuat baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
(http://www.geocities.com/mas_tri/sistemDP3.pdf).
Siagian
(1995:225–226) menyatakan bahwa penilaian prestasi kerja adalah: Suatu
pendekatan dalam melakukan penilaian prestasi kerja para pegawai yang di
dalamnya terdapat berbagai faktor seperti :
1.
Penilaian dilakukan pada manusia sehingga disamping memiliki kemampuan tertentu
juga tidak luput dari berbagai kelemahan dan kekurangan;
2.
Penilaian yang dilakukan pada serangkaian tolak ukur tertentu yang realistik,
berkaitan langsung dengan tugas seseorang serta kriteria yang ditetapkan dan
diterapkan secara obyektif;
3.
Hasil penilaian harus disampaikan kepada pegawai yang dinilai dengan lima
maksud:
a.
Apabila penilaian tersebut positif maka penilaian tersebut menjadi dorongan
kuat bagi pegawai yang bersangkutan untuk lebih berprestasi lagi pada masa yang
akan datang sehingga kesempatan meniti karier lebih terbuka baginya.
b.
Apabila penilaian tersebut bersifat negatif maka pegawai yang bersangkutan
mengetahui kelemahannya dan dengan sedemikian rupa mengambil berbagai langkah
yang diperlukan untuk mengatasi kelemahan tersebut.
c.
Jika seseorang merasa mendapat penilaian yang tidak obyektif, kepadanya
diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan sehingga pada akhirnya ia dapat
memahami dan menerima hasil penilaian yang diperolehnya.
d.
Hasil penilaian yang dilakukan secara berkala itu terdokumentasikan secara rapi
dalam arsip kepegawaian setiap pegawai sehingga tidak ada informasi yang
hilang, baik yang sifatnya menguntungkan maupun merugikan pegawai bersangkutan;
e.
Hasil penilaian prestasi kerja setiap orang menjadi bahan yang selalu turut
dipertimbangkan dalam setiap keputusan yang dambil mengenai mutasi pegawai,
baik dalam arti promosi, alih tugas, alih wilayah, demosi maupun dalam
pemberhentian tidak atas permintaan sendiri.
Penilaian
kinerja menurut Mondy dan Noe (1993:394) merupakan suatu sistem formal yang
secara berkala digunakan untuk mengevaluasi kinerja individu dalam menjalankan
tugas-tugasnya.
Sedangkan
Mejia, dkk (2004:222-223) mengungkapkan bahwa penilaian kinerja merupakan suatu
proses yang terdiri dari:
1.
Identifikasi, yaitu menentukan faktor-faktor kinerja yang berpengaruh terhadap
kesuksesan suatu organisasi. Hal ini dapat dilakukan dengan mengacu pada hasil
analisa jabatan.
2.
Pengukuran, merupakan inti dari proses sistem penilaian kinerja. Pada proses
ini, pihak manajemen menentukan kinerja pegawai yang bagaimana yang termasuk
baik dan buruk. Manajemen dalam suatu organisasi harus melakukan perbandingan
dengan nilai-nilai standar atau memperbandingkan kinerja antar pegawai yang
memiliki kesamaan tugas.
3.
Manajemen, proses ini merupakan tindak lanjut dari hasil penilaian kinerja.
Pihak manajemen harus berorientasi ke masa depan untuk meningkatkan potensi
pegawai di organisasi yang bersangkutan. Hal ini dapat dilakukan dengan
pemberian umpan balik dan pembinaan untuk meningkatkan kinerja pegawainya.
Berdasarkan
beberapa pendapat ahli mengenai pengertian penilaian kinerja, terdapat benang
merah yang dapat digunakan untuk menarik kesimpulan bahwa penilaian kinerja
merupakan suatu sistem penilaian secara berkala terhadap kinerja pegawai yang
mendukung kesuksesan organisasi atau yang terkait dengan pelaksanaan tugasnya.
Proses penilaian dilakukan dengan membandingkan kinerja pegawai terhadap
standar yang telah ditetapkan atau memperbandingkan kinerja antar pegawai yang
memiliki kesamaan tugas.
Tujuan
dan Manfaat Penilaian Kinerja
Penilaian
kinerja menurut Werther dan Davis (1996:342) mempunyai beberapa tujuan dan
manfaat bagi organisasi dan pegawai yang dinilai, yaitu:
1.
Performance Improvement. Yaitu memungkinkan pegawai dan manajer untuk
mengambil tindakan yang berhubungan dengan peningkatan kinerja.
2.
Compensation adjustment. Membantu para pengambil keputusan untuk
menentukan siapa saja yang berhak menerima kenaikan gaji atau sebaliknya.
3.
Placement decision. Menentukan promosi, transfer, dan demotion.
4.
Training and development needs mengevaluasi kebutuhan pelatihan dan
pengembangan bagi pegawai agar kinerja mereka lebih optimal.
5.
Carrer planning and development. Memandu untuk menentukan jenis karir
dan potensi karir yang dapat dicapai.
6.
Staffing process deficiencies. Mempengaruhi prosedur perekrutan pegawai.
7.
Informational inaccuracies and job-design errors. Membantu menjelaskan
apa saja kesalahan yang telah terjadi dalam manajemen sumber daya manusia
terutama di bidang informasi job-analysis,
job-design, dan sistem informasi manajemen sumber daya manusia.
8.
Equal employment opportunity. Menunjukkan bahwa placement decision tidak
diskriminatif.
9.
External challenges. Kadang-kadang kinerja pegawai dipengaruhi oleh
faktor eksternal seperti keluarga, keuangan pribadi, kesehatan, dan
lain-lainnya. Biasanya faktor ini tidak terlalu kelihatan, namun dengan
melakukan penilaian kinerja, faktor-faktor eksternal ini akan kelihatan
sehingga membantu departemen sumber daya manusia untuk memberikan bantuan bagi
peningkatan kinerja pegawai.
10.
Feedback. Memberikan umpan balik bagi urusan kepegawaian maupun bagi
pegawai itu sendiri.
Berdasarkan
kesepuluh tujuan di atas, pihak manajemen Perusahaan Daerah Air Minum Kota
Surabaya seperti yang diutarakan oleh Direktur Utama pada saat presentasi
laporan magang mahasiswa Magister Profesi Psikologi Universitas Airlangga bulan
Agustus 2004 mengarahkan tujuan penilaian kinerjanya untuk:
1.
Memberikan feedback bagi pegawai dan urusan kepegawaian
2.
Dipergunakan sebagai pertimbangan penentuan sistem reward (namun pada
kenyataannya berdasarkan hasil penilaian kinerja periode Desember 2004, justru
penilaian kinerja sebagai pertimbangan penentuan punishment bagi pegawai
yang kinerjanya kurang baik)
3.
Dipergunakan sebagai pertimbangan promosi dan rotasi pegawai
4.
Dipergunakan sebagai sumber informasi tentang kebutuhan pelatihan dan
pengembangan pegawai.
Elemen
Penilaian Kinerja
Penilaian
kinerja yang baik adalah yang mampu untuk menciptakan gambaran yang tepat
mengenai kinerja pegawai yang dinilai. Penilaian tidak hanya ditujukan untuk
menilai dan memperbaiki kinerja yang buruk, namun juga untuk mendorong para
pegawai untuk bekerja lebih baik lagi. Berkaitan dengan hal ini, penilaian
kinerja membutuhkan standar pengukuran, cara penilaian dan analisa data hasil
pengukuran, serta tindak lanjut atas hasil pengukuran. Elemen-elemen utama
dalam sistem penilaian kinerja Werther dan Davis (1996:344) adalah:
A.
Performance Standard
Penilaian
kinerja sangat membutuhkan standar yang jelas yang dijadikan tolok ukur atau
patokan terhadap kinerja yang akan diukur. Standar yang dibuat tentu saja harus
berhubungan dengan jenis pekerjaan yang akan diukur dan hasil yang diharapkan
akan terlihat dengan adanya penilaian kinerja ini.
Ada
empat hal yang harus diperhatikan dalam menyusun standar penilaian kinerja yang
baik dan benar yaitu validity, agreement, realism, dan objectivity.
1.
Validity adalah keabsahan standar tersebut sesuai dengan jenis pekerjaan
yang dinilai. Keabsahan yang dimaksud di sini adalah standar tersebut memang
benar-benar sesuai atau relevan dengan jenis pekerjaan yang akan dinilai
tersebut.
2.
Agreement berarti persetujuan, yaitu standar penilaian tersebut
disetujui dan diterima oleh semua pegawai yang akan mendapat penilaian. Ini
berkaitan dengan prinsip validity di atas.
3.
Realism berarti standar penilaian tersebut bersifat realistis, dapat dicapai
oleh para pegawai dan sesuai dengan kemampuan pegawai.
4.
Objectivity berarti standar tersebut bersifat obyektif, yaitu adil,
mampu mencerminkan keadaan yang sebenarnya tanpa menambah atau mengurangi
kenyataan dan sulit untuk dipengaruhi oleh bias -bias penilai
B.
Kriteria Manajemen Kinerja (Criteria for Managerial Performance)
Kriteria
penilaian kinerja dapat dilihat melalui beberapa dimensi, yaitu kegunaan
fungsional (functional utility), keabsahan (validity), empiris (empirical
base), sensitivitas (sensitivity), pengembangan sistematis (systematic
development), dan kelayakan hukum (legal appropriateness).
a.
Kegunaan fungsional bersifat krusial, karena hasil penilaian kinerja dapat
digunakan untuk melakukan seleksi, kompensasi, dan pengembangan pegawai, maka
hasil penilaian kinerja harus valid, adil, dan berguna sehingga dapat diterima
oleh pengambil keputusan.
b.
Valid atau mengukur apa yang sebenarnya hendak diukur dari penilaian kinerja
tersebut.
c.
Bersifat empiris, bukan berdasarkan perasaan semata.
d.
Sensitivitas kriteria. Kriteria itu menunjukkan hasil yang relevan saja, yaitu
kinerja, bukan hal-hal lainnya yang tidak berhubungan dengan kinerja.
e.
Sistematika kriteria. Hal ini tergantung dari kebutuhan organisasi dan
lingkungan organisasi. Kriteria yang sistematis tidak selalu baik. Organisasi
yang berada pada lingkungan yang cepat berubah mungkin justru lebih baik
menggunakan kriteria yang kurang sistematis untuk cepat menyesuaikan diri dan
begitu juga sebaliknya.
f.
Kelayakan hukum yaitu kriteria itu harus sesuai dengan hukum yang berlaku.
Dimensi-dimensi
ini digunakan dalam penentuan jenis-jenis kriteria penilaian kinerja. Adapun
kriteria-kriteria tersebut adalah people-based criteria, product-based
criteria, behaviour-based criteria.
People-based criteria dibuat
berdasarkan dimensi kegunaan fungsional sehingga banyak digunakan untuk selection
dan penentuan kompensasi. Kriteria ini dibuat berdasarkan penilaian terhadap kemampuan pribadi, seperti
pengalaman, kemampuan intelektual, dan keterampilan.
Product-based criteria biasanya
dianggap lebih baik daripada people -based criteria. Kriteria ini
didasarkan atas tujuan atau jenis output yang ingin dicapai.
Behaviour-based criteria mempunyai
banyak aspek, bisa dari segi hukum, etika, normatif, atau teknis. Kriteria ini
dibuat berdasarkan perilaku-perilaku yang diharapkan sesuai dengan aspek-aspek
tersebut.
C.
Pengukuran Kinerja (Performance Measures)
Pengukuran
kinerja dapat dilakukan dengan menggunakan sistem penilaian (rating) yang
relevan. Rating tersebut harus mudah digunakan sesuai dengan yang akan diukur,
dan mencerminkan hal-hal yang memang menentukan kinerja Werther dan Davis
(1996:346). Pengukuran kinerja juga berarti membandingkan antara standar yang
telah ditetapkan dengan kinerja sebenarnya yang terjadi.
Pengukuran
kinerja dapat bersifat subyektif atau obyektif. Obyektif berarti pengukuran
kinerja dapat juga diterima, diukur oleh pihak lain selain yang melakukan
penilaian dan bersifat kuantitatif. Sedangkan pengukuran yang bersifat
subyektif berarti pengukuran yang berdasarkan pendapat pribadi atau standar
pribadi orang yang melakukan penilaian dan sulit untuk diverifikasi oleh orang
lain.
D.
Analisa Data Pengukuran
Setelah
menetapkan standar pengukuran, kemudian mulailah dikumpulkan data-data yang
diperlukan. Data-data dapat dikumpulkan dengan melakukan wawancara, survei langsung,
atau meneliti catatan pekerjaan dan lain sebagainya. Data-data tersebut
dikumpulkan dan dianalisa apakah ada perbedaan antara standar kinerja dengan
kinerja aktual.
E.
Bias dan Tantangan dalam Penilaian Kinerja
Penilaian
kinerja harus bebas dari diskriminasi. Apapun bentuk atau metode penilaian yang
dilakukan oleh pihak manajemen harus adil, realistis, valid, dan relevan dengan
jenis pekerjaan yang akan dinilai karena penilaian kinerja ini tidak hanya
berkaitan dengan masalah prestasi semata, namun juga menyangkut masalah gaji,
hubungan kerja, promosi/demosi, dan penempatan pegawai. Adapun bias-bias yang
sering muncul menurut Werther dan Davis (1996:348) adalah:
1.
Hallo Effect, terjadi karena penilai menyukai atau tidak menyukai sifat
pegawai yang dinilainya. Oleh karena itu, pegawai yang disukai oleh penilai
cenderung akan memperoleh nilai positif pada semua aspek penilaian, dan begitu
pula sebaliknya, seorang pegawai yang tidak disukai akan mendapatkan nilai
negatif pada semua aspek penilaian;
2.
Liniency and Severity Effect. Liniency effect ialah penilai cenderung
beranggapan bahwa mereka harus berlaku baik terhadap pegawai, sehingga mereka
cenderung memberi nilai yang baik terhadap semua aspek penilaian. Sedangkan severity
effect ialah penilai cenderung mempunyai falsafah dan pandangan yang
sebaliknya terhadap pegawai sehingga cenderung akan memberikan nilai yang
buruk;
3.
Central tendency, yaitu penilai tidak ingin menilai terlalu tinggi dan
juga tidak terlalu rendah kepada bawahannya (selalu berada di tengah-tengah).
Toleransi penilai yang terlalu berlebihan tersebut menjadikan penilai cenderung
memberikan penilaian dengan nilai yang rata-rata.
4.
Assimilation and differential effect. Assimilation effect, yaitu penilai
cenderung menyukai pegawai yang mempunyai ciri-ciri atau sifat seperti mereka,
sehingga akan memberikan nilai yang lebih baik dibandingkan dengan pegawai yang
tidak memiliki kesamaan sifat dan ciri-ciri dengannya. Sedangkan differential
effect, yaitu penilai cenderung menyukai pegawai yang memiliki sifat-sifat
atau ciri-ciri yang tidak ada pada dirinya, tapi sifat-sifat itulah yang mereka
inginkan, sehingga penilai akan memberinya nilai yang lebih baik dibanding yang
lainnya;
5.
First impression error, yaitu penilai yang mengambil kesimpulan tentang
pegawai berdasarkan kontak pertama mereka dan cenderung akan membawa
kesan-kesan ini dalam penilaiannya hingga jangka waktu yang lama;
6.
Recency effect, penilai cenderung memberikan nilai atas dasar perilaku
yang baru saja mereka saksikan, dan melupakan perilaku yang lalu selama suatu
jangka waktu tertentu.
Metode
Penilaian Kinerja
Banyak
metode dalam penilaian kinerja yang bisa dipergunakan, namun secara garis besar
dibagi menjadi dua jenis, yaitu past oriented appraisal methods (penilaian
kinerja yang berorientasi pada masa lalu) dan future oriented appraisal
methods (penilaian kinerja yang berorientasi ke masa depan), (Werther dan
Davis, 1996:350).
Past
based methods adalah penilaian
kinerja atas kinerja seseorang dari pekerjaan yang telah dilakukannya.
Kelebihannya adalah jelas dan mudah diukur, terutama secara kuantitatif.
Kekurangannya adalah kinerja yang diukur tidak dapat diubah sehingga
kadang-kadang justru salah menunjukkan seberapa besar potensi yang dimiliki
oleh seseorang. Selain itu, metode ini kadang-kadang sangat subyektif dan
banyak biasnya.
Future
based methods adalah penilaian
kinerja dengan menilai seberapa besar potensi pegawai dan mampu untuk
menetapkan kinerja yang diharapkan pada masa datang. Metode ini juga kadang-kadang
masih menggunakan past method. Catatan kinerja juga masih digunakan
sebagai acuan untuk menetapkan kinerja yang diharapkan. Kekurangan dari metode
ini adalah keakuratannya, karena tidak ada yang bisa memastikan 100% bagaimana
kinerja seseorang pada masa datang.
Pengkasifikasian
pendekatan penilaian kinerja oleh Wherther di atas berbeda dengan klasifikasi
yang dilakukan oleh Kreitner dan Kinicki (2000). Berdasarkan aspek yang diukur,
Kreitner dan Kinicki mengklasifikasikan penilaian kinerja menjadi tiga, yaitu:
pendekatan trait, pendekatan perilaku dan pendekatan hasil. Pendekatan trait
adalah pendekatan penilaian kinerja yang lebih fokus pada orang. Pendekatan
ini melakukan perankingan terhadap trait atau karakteristik individu
seperti inisiatif, loyalitas dan kemampuan pengambilan keputusan. Pendekatan trait
memiliki kelemahan karena ketidakjelasan kinerja secara nyata. Pendekatan
perilaku, pendekatan ini lebih fokus pada proses dengan melakukan penilaian
kinerja berdasarkan perilaku yang tampak dan mendukung kinerja seseorang.
Sedangkan pendekatan hasil adalah pendekatan yang lebih fokus pada capaian atau
produk. Metode penilaian kinerja yang menggunakan pendekatan hasil seperti
metode management by objective (MBO), (Kreitner dan Kinicki, 2000:303-304).
Metode-metode
penilaian kinerja yang sesuai dengan pengkategorian dua tokoh di atas yang
paling banyak digunakan menurut Mondy dan Noe (1993:402-414) adalah:
Written Essays, merupakan
teknik penilaian kinerja yaitu evaluator menulis deskripsi mengenai kekuatan
pekerja, kelemahannya, kinerjanya pada masa lalu, potensinya dan memberikan
saran-saran untuk pengembangan pekerja tersebut.
Critical Incidents, merupakan teknik penilaian kinerja yaitu evaluator
mencatat mengenai apa saja perilaku/pencapaian terbaik dan terburuk (extremely
good or bad behaviour) pegawai. Graphic
Rating Scales, merupakan teknik penilaian kinerja yaitu evaluator
menilai kinerja pegawai dengan menggunakan skala dalam mengukur faktor-faktor
kinerja (performance factor ). Misalnya adalah dalam mengukur tingkat
inisiatif dan tanggung jawab pegawai. Skala yang digunakan adalah 1 sampai 5,
yaitu 1 adalah yang terburuk dan 5 adalah yang terbaik. Jika tingkat inisiatif
dan tanggung jawab pegawai tersebut biasa saja, misalnya, maka ia diberi nilai
3 atau 4 dan begitu seterusnya untuk menilai faktor-faktor kinerja lainnya.
Metode ini merupakan metode umum yang paling banyak digunakan oleh organisasi.
Behaviourally Anchored Rating Scales (BARS), merupakan teknik penilaian kinerja yaitu evaluator
menilai pegawai berdasarkan beberapa jenis perilaku kerja yang mencerminkan
dimensi kinerja dan membuat skalanya. Misalnya adalah penilaian pelayanan
pelanggan. Bila pegawai bagian pelayanan pelanggan tidak menerima suap dari
pelanggan, ia diberi skala 4 yang berarti kinerja lumayan. Bila pegawai itu
membantu pelanggan yang kesulitan atau kebingungan, ia diberi skala 7 yang
berarti kinerjanya memuaskan, dan seterusnya. Metode ini mendeskripsikan
perilaku yang diharapkan sesuai dengan tingkat kinerja yang diharapkan. Pada
contoh di atas, nilai 4 dideskripsikan dengan tidak menerima suap dari
pelanggan. Nilai 7 dideskripsikan dengan menolong pelanggan yang membutuhkan
bantuan. Dengan mendeskripsikannya, metode ini mengurangi bias yang terjadi dalam
penilaian.
Multiperson Comparison, merupakan
teknik penilaian kinerja yaitu seorang pegawai dibandingkan dengan rekan
kerjanya. Biasanya dilakukan oleh supervisor. Ini sangat berguna untuk
menentukan kenaikan gaji (merit system), promosi, dan penghargaan
perusahaan.
Management By Objectives. Metode
ini juga merupakan penilaian kinerja, yaitu pegawai dinilai berdasarkan
pencapaiannya atas tujuan-tujuan spesifik yang telah ditentukan sebelumnya.
Tujuan-tujuan ini tidak ditentukan oleh manajer saja, melainkan ditentukan dan
disepakati bersama oleh para pegawai dan manajer. Setiap metode di atas
memiliki kelemahan dan kelebihannya masing-masing, sehingga tidak baik bagi
organisasi untuk menggantungkan penilaian kinerjanya hanya pada satu jenis metode
saja. Sebaiknya, organisasi menggabungkan beberapa metode yang sesuai dengan
lingkup organisasinya, Mondy dan Noe (1993: 414).
2.1.1.
Proses Penyusunan Penilaian Kinerja
Proses
penyusunan penilaian kinerja menurut Mondy dan Noe (1993:398) terbagi dalam
beberapa tahapan kegiatan yang ditunjukkan dalam gambar di bawah ini:
Identifikasi
tujuan
Menetapkan
standar terhadap suatu jabatan
Menyusun
sistem penilaian kinerja
Menilai
kinerja pegawai
Mendiskusikan
hasil penilaian dengan pegawai
Sumber
: Mondy dan Noe (1993:398)
Langkah
pertama yang harus dilakukan dalam menyusun sistem penilaian kinerja yaitu
harus digali terlebih dahulu tujuan yang ingin dicapai oleh organisasi dengan
adanya sistem penilaian kinerja yang akan disusun. Hal ini menjadi penting
karena dengan mengetahui tujuan yang ingin dicapai akan lebih memudahkan dalam
menentukan desain penilaian kinerja.
Langkah
yang kedua, menetapkan standar yang diharapkan dari suatu jabatan, sehingga
akan diketahui dimensi-dimensi apa saja yang akan diukur dalam penilaian
kinerja. Dimensi-dimensi tersebut tentunya harus sangat terkait dengan
pelaksanaan tugas pada jabatan itu. Tahap ini biasanya dapat dilakukan dengan
menganalisa jabatan (job analysis) atau menganalisa uraian tugas
masing-masing jabatan. Setelah tujuan
dan dimensi yang akan diukur dalam penilaian kinerja diketahui, maka langkah
selanjutnya yaitu menentukan desain yang sesuai untuk mencapai tujuan yang
diharapkan. Penentuan desain penilaian kinerja ini harus selalu dikaitkan
dengan tujuan penilaian. Hal ini karena tiap-tiap desain penilaian kinerja
memiliki kelemahan dan kelebihannya masing-masing. Sebagai contoh, penilaian
kinerja yang dilakukan untuk menentukan besaran gaji pegawai dengan penilaian
kinerja yang bertujuan hanya untuk mengetahui kebutuhan pengembangan tentunya
memiliki desain yang berbeda.
Langkah
berikutnya adalah melakukan penilaian kinerja terhadap pegawai yang menduduki
suatu jabatan. Penilaian kinerja ini dapat dilakukan oleh atasan saja, atau
dengan sistem 360o. Penilaian dengan sistem 360o maksudnya
adalah penilaian satu pegawai dilakukan oleh atasan, rekan kerja yang
sejajar/setingkat, dan bawahannya.
Hasil dari penilaian kinerja, selanjutnya dianalisa dan
dikomunikasikan kembali kepada pegawai yang dinilai agar mereka mengetahui
kinerjanya selama ini serta mengetahui kinerja yang diharapkan oleh organisasi.
Evaluasi terhadap sistem penilaian kinerja yang telah dilakukan juga
dilaksanakan pada tahap ini. Apakah penilaian kinerja tersebut sudah dapat
mencapai tujuan dari diadakannya penilaian kinerja atau belum. Apabila ternyata
belum, maka harus dilakukan revisi atau mendesain ulang sistem penilaian
kinerja.
Komentar
Posting Komentar