Syarat dan Rukun Nikah
RUKUN DAN SYARAT SAH
NIKAH/PERKAWINAN
Jumhur ‘Ulama’ sepakat bahwa Rukun perkawinan terdiri
atas 4 bagian :
1.
CALON SUAMI DAN ISTRI.
2.
WALI DARI PIHAK CALON
PENGANTIN WANITA.
3.
AKAD NIKAH
4.
DUA ORANG SAKSI.
.
A. Pengertian
Rukun, Syarat dan Sah.
Rukun,
yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah atau tidaknya suatu pekerjaan
(ibadah), dan sesuatu itu bermaksud dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti
membasuh muka untuk wudhu’ dan takbiratul ihram untuk shalat.
Atau adanya calon pengantin laki-laki/perempuan dalam perkawinan.
‘Syarat,
yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan
(ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu,
seprti menutup aurat untuk sholat” atau menurut islam calon pengantin
laki-laki/perempuan itu harus beragama islam.
Sah, yaitu
sesuatu pekerjaan (ibadah) yang memenuhi rukun dan syarat.
B. Rukun
Perkawinan/pernikahan
Dalam memahami tentang Rukun perkawinan ini
ada beberapa buku dan pendapat yang mengutarakan dan menguraikan dengan susunan
yang berbeda tetapi tetap sama intinya. Pernikahan yang di dalamnya terdapat
akad, layaknya akad-akad lain yang memerlukan adanya persetujuan kedua belah
pihak yang mengadakan akad.
Jumhur ‘Ulama’ sepakat bahwa Rukun perkawinan terdiri
atas 4 bagian :
5.
CALON SUAMI DAN ISTRI.
6.
WALI DARI PIHAK CALON
PENGANTIN WANITA.
7.
AKAD NIKAH akan dianggap
sah apabila ada seorang wali atau wakilnya yang akan menikahkannya, berdasarkan
sabda Nabi SAW
اَيُّمَا امْرَأَةٍ نِكَحَتْ بِغَيْرِ اِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَا
حُهَا بَاطِلٌ (اخرجه الاربعة الا للنسائ)
Perempuan mana saja yang
menikah tanpa seizin walinya, maka pernikahannya batal
Dalam hadis lain Nabi SAW
bersabda:
لاَ تُزَوِّجِ الْمَرْاءَةَ وَلَا تُزَوِّجِ الْمَرْأَةُ نَفْسَهَا
( رواه ابن ماجه و دار قطنى)
Janganlah
seseorang perempuan menikahkan perempuan lainnya, dan janganlah seorang
perempuan menikahkan dirinya sendiri.[1]
8.
DUA ORANG SAKSI.
Pelaksanaan
akad nikah akan sah apabila dua orang saksi yang menyaksiakan akad nikah
tersebut, berdasarkan Hadis Nabi SAW:
لَا نِكَاحَ اِلِّا بِوَلِيِّ وَشَاهِدَى عَدْلٍ (رواه احمد)
Shighat akad nikah, yaitu Ijab Qabul yang diucapkan oleh
wali atau wakilnya dari pihak wanita, dan dijawab oleh calon pengantin
laki-laki[2]. Maksud ijab dalam akad
nikah seperti ijab dalam berbagai transaksi lain, yaitu pernyataan yang keluar
dari salah satu pihak yang mengadakan akad atau transaksi, baik berupa
kata-kata, tulisan, atau isyarat yang mengungkapkan adanya keinginan terjadinya
akad, baik salah satunya dari pihak suami atau dari pihak istri. Sedangkan
Qabul adalah pernyataan yang datang dari pihak kedua baik berupa kata-kata,
tulisan, atau isyarat yang mengungkapkan persetujuan ridhanya.[3] Berdasarkan pengertian di
atas, ijab tidak dapat dikhususkan alam hati sang istri atau wali dan atau
wakilnya. Demikian juga dengan qabul.
Jika seorang laki-laki berkata kepada wali perempuan: “Aku nikahi putrimu atau
nikahkan aku dengan putrimu bernama si fulanah”. Wali menjawab: “Aku nikahkan
kamu dengan putriku atau aku terima atau aku setuju”. Ucapan pertama disebut
ijab dan ucapan kedua adalah qabul. Dengan kata lain, ijab adalah bentuk
ungkapan baik yang memberikan arti akad atau transaksi, dengan catatan jatuh
pada urutan pertama. Sedangkan qabul adalah bentuk ungkapan yang baik untuk
menjawab, dengan catatan jatuh pada urutan kedua dari pihak mana saja dari
kedua pihak.
Akad adalah gabungan ijab salah satu dari
dua pembicara serta penerimaan yang lain. Seperti ucapan seorang laki-laki:
“Aku nikahkan engkau dengan putriku” adalah ijab. Sedangkan yang lain berkata:
“ Aku terima” adalah qabul.
Tentang Jumlah rukun nikah ini, para ulama berbeda
pendapat:
Imam Malik mengatakan bahwa rukun nikah itu ada lima
macam, yaitu:
- Wali
dari pihak perempuan,
- Mahar
(maskawin)
- Calon
pengantin laki-laki
- Calon
pengantin perempuan
- Sighat
akad nikah
Imam Syafi’i berkata bahwa rukun nikah itu ada lima
macam, yaitu:
- Calon
pengantin laki-laki,
- Calon
pengantin perempuan,
- Wali,
- Dua
orang saksi,
- Sighat
akad nikah.
Menurut ulama Hanafiah, rukun nikah itu
hanya ijab dan qabul saja ( yaitu akad yang dilakukan oleh pihak wali perempuan
dan calon pengantin laki-laki). Sedangkan menurut segolongan yang lain rukun
nikah itu ada empat, yaitu:
- Sighat
(ijab dan qabul)
- Calon
pengantin perempuan,
- Calon
pengantin laki-laki,
- Wali
dari pihak calon pengantin perempuan.
Pendapat yang mengatakan bahwa rukun nikah
itu ada empat, karena calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan
digabung menjadi satu rukun.[4]
C. Syarat
Sahnya Perkawinan.
Syarat-syarat perkawinan merupakan dasar
bagi sahnya perkawinan. Apabila syarat-syaratnya terpenuhi, maka perkawinan itu
sah dan menimbulkan adanya segala hak dan kewajiban sebagai suami istri.
Sedangkan yang dimaksud dengan syarat
perkawinan ialah syarat yang bertalian dengan rukun-rukun perkawinan, yaitu
syarat-syarat bagi calon mempelai, wali, saksi, dan ijab qabul.
Dalam menjelaskan masalah syarat nikah ini,
terdapat juga perbedaan dalam penyusunan syarat akan tetapi tetap pada inti
yang sama. Syari’at islam menentukan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh
calon kedua mempelai yang sesuai dan berdasarkan ijtihad para ulama.
I Syarat-syarat calon Suami:
1. Beragama
Islam
2. Bukan
mahram dari calon istri dan jelas halal kawin dengan calon istri
3. Terang
(jelas) bahwa calon suami itu betul laki-laki
4. Orangnya
diketahui dan tertentu
5. Calon
mempelai laki-laki tahu/kenal pada calon istri serta tahu betul calon istrinya
halal baginya.
6. Calon
suami rela( tidak dipaksa/terpaksa) untuk melakukan perkawinan itu dan atas
kemauan sendiri.
7. Tidak
sedang melakukan Ihram.
8. Tidak
mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri.
9. Tidak
sedang mempunyai istri empat.
II. Syarat-syarat calon istri:
1. Beragama
Islam atau ahli kitab.
2. Tidak
ada halangan syarak, yaitu tidak bersuami, bukan mahram, tidak dalam sedang
iddah.
3. Terang
bahwa ia wanita. Bukan khuntsa (banci)
4. Wanita
itu tentu orangnya (jelas orangnya)
5. Tidak
dipaksa ( merdeka, atas kemauan sendiri/ikhtiyar.
III. Syarat-syarat Ijab Qabul.
Perkawinan wajib dilakukan dengan ijab dan
qabul dengan lisan. Inilah yang dinamakan akad nikah (ikatan atau perjanjian
perkawinan). Bagi orang bisu sah perkawinan nya dengan isyarat tangan atau
kepala yang bisa dipahami.
Ijab dilakukan oleh pihak wali mempelai
perempuan atau walinya, sedangkan kabul dilakukan oleh mempelai laki-laki atau
wakilnya.
Mrnurut pendirian hanafi, boleh juga ijab
oleh pihak mempelai laki-laki atau wakilnya dan kabul oleh pihak
perempuan (wali atau wakilnya) apabila perempuan itu telah baligh dan berakal,
dan boleh sebaliknya.
Ijab dan kabul dilakukan di dalam satu
majlis, dan tidak boleh ada jarak yang lama antara ijab dan qabul yang merusak
kesatuan akad dan kelangsungan akad, dan masing-masing ijab dan qabul dapat di
dengar dengan baik oleh kedua belah pihak dan dua orang saksi.
Imam Hanafi membolehkan ada jarak antara
ijab dan qabul asal masih di dalam satu majelis dan tidak ada hal-hal yang
menunjukkan salah satu pihak berplaing dari maksud akad itu.
Adapun lafadz yang digunakan untuk akad
nikah adalah lafaz nikah atau tazwij, yang terjemahannya adalah kawin dan
nikah. Sebab kalimat-kalimat itu terdapat di dalam Kitabullah dan Sunnah.
Demikian menurut asy-Syafi’i dan Hambali. Sedangkan hanafi membolehkan dengan
kalimat lain yang tidak dari Al-Qur’an, misalnya menggunakan kalimat hibah,
sedekah , pemilikan dan seagainya, dengan alasan, kata-kata ini adalah majas
yang biasa juga digunakan dalam bahasa sastra atau biasa yang artinya
perkawinan.
Contoh kalimat akad nikah adalah sebagai berikut:
اَنْكَحْتُكَ.....بِنْتِ.....بِمَهَرِ اَلْفِ رُوْبِيَّةٍ حَالًا.
Aku
kawinkan engkau dengan.......binti........dengan mas kawin Rp.1.000 tunai
Jawab
atau kalimat kabul yang digunakan wajiblah sesuai dengan ijab.
Akad nikah itu wajib di hadiri oleh : dua orang saksi
yang memenuhi syarat sebagai saksi, karena saksi merupakan syarat sah
perkawinan.
Adapun dasar dari perkawinan itu wajib dengan akad nikah
dan dengan lafadz atau kalimat tertentu adalah berdasarkan sabda Nabi Muhammad
SAW:
Yang
artinya:
Takutlah engkau sekalian kepada Allah dalam hal
orang-orang perempuan, sesungguhnya engkau membuat halal kemaluan-kemaluan
mereka dengan kalimat Allah. (HR. Muslim)
IV. Syarat-syarat Wali.
Perkawinan dilangsungkan oleh wali pihak
mempelai perempuan atau wakilnya dengan calon suami atau wakilnya. Adapun
syarat-syaratnya ialah seorang wali hendaknya:
1. Laki-laki
2. muslim
3. Baligh
4. Waras
akalnya
5. Adil
(tidak fasik)
6. Tidak
dipaksa
7. Tidak
sedang berihram.
Dan hal ini berdasarkan sabda Nabi SAW:
Yang artinya : “ tidak sah perkawinan tanpa wali” (rowahu
homsah)
Dan : “ perempuan mana saja yang kawin tanpa seizin
walinya maka perkawinannya itu batal (3x). Apabila suami telah melakukan
hubungan seksual maka si perempuan sudah berhak mendapatkan mas kawin lantaran
apa yang telah ia buat halal pada kemaluan perempuan itu. Apabila wali-wali itu
enggan maka sultanlah (pemerintah) yang menjadi wali bagi orang yang tidak ada
walinya” ( rowahul khomsah illa an-Nasa’i)
V. Syarat-syarat Saksi.
Adaun syarat saksi yang menghadiri akad
nikah haruslah dua orang laki-laki, muslim, baligh, berakal, melihat dan
mendengar serta mengerti (paham) akan maksud akad nikah.[6]
Adapun kewajiban adanya saksi tidak lain,
hanyalah untuk kemaslahatan kedua belah pihak dan masyarakat. Misalnya,
salah seorang mengingkari, hal itu dapat dielakkan oleh adanya dua orang saksi.
Juga misalnya apabila terjadi kecurigaan masyarakat, maka dua orang saksi
dapatlah menjadi pembela terhadap adanya akad perkawinan dari sepasang suami
istri. Disamping itu, menyangkut pula keturunan apakah benar yang lahir adalah
dari perkawinan suami istri tersebut. Dan di sinilah saksi itu dapat memberikan
kesaksiannya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman Ghazali. Fiqh Munakahat. Jakarta : Kencana
Prenada Media, 2008
Abdul Aziz Muhammad Azam. Fiqh Munakahat, Khitbah, Nikah
dan Talak. Jakarta: Sinar Grafika, 2009
Muhammad A Tihami. Fiqh Munakahat, Kajian Fiqh Nikah
Lengkap. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009
[3] Abdul Aziz Muhammad
Azzam, Fiqh Munakahat, Kihtbah, Naikah, dan Talak, Jakarta : Sinar Grafia 2009.
[5] Muhammad Abdul
Tihami, Fiqh Munakahat, Kajian Fiqh Nikah Lengkap, Jakarta: Rajawali Press,
2009.
Azwarman Anwar
Komentar
Posting Komentar