Sumpah Marapalam versi Buya Mas'ud Abidin Mantan Ketua DDII Sumbar


PIAGAM SUMPAH SATIE BUKIK MARAPALAM Sumber : Buya Maso’ed Abidin
Tidak ada bukti tertulis sehingga tidak pula ada kepastian waktu, tempat, dan pelaku peristiwa pencetusan piagam sumpah satie Bukik Marapalam yang pasti. Namun masyarakat meyakini bahwa piagam sumpah satie Bukik Marapalam atau lebih populer disebut sumpah satie Bukik Marapalam disepakati oleh para pemuka adat dan ulama di puncak bukit itu masa perkembangan Islam di Minangkabau (selanjutnya ditulis Minang). Konsensus itu didasari oleh sifat egaliter masyarakatnya. Piagam sumpah satie tersebut diyakini berbunyi adaik basandi syarak, syarak basandi kitabullah disingkat dengan ABS-SBK (adat bersendi agama Islam, Islam bersendikan Al Quran.). Namun karena berbagai versi juga ada yang menyatakan konsensus pertama antara kaum adat dan ulama berbunyi “adaik basandi syarak, syarak basandi adaik” (adat bersendi agama Islam, Islam bersendi adat).
Ketiadapastian peristiwa itu dan hampir tidak adanya tulisan Belanda mengundang munculnya beragam versi sejumlah peneliti, pemerhati agama dan adat di Minang. Bahkan perhatian mereka tentang hubungan antara variabel adat dan agama dewasa ini juga berkembang untuk kasus-kasus di luar dan dalam masyarakat Minang. Misalnya karya Hamka (terbit pada pertengahan 1946) “Islam dan Adat Minangkabau”; karya Ratno Lukito (1998) tentang Pergumulan Antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia; sejumlah karya C. Snouck Hurgronje; Taufik Abdullah; penelitian dan seminar yang didanai oleh Pemerintah Daerah (Pemda) Tingkat I Sumatera Barat bekerja sama dengan Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang tahun 1991.
Konsensus tersebut muncul sebagai sintesa dari proses dialogis antara kedua kaum itu. Namun sintesa tersebut bukan untuk menyatukan ajaran Islam dengan adat Minang, tetapi untuk saling melengkapi dan menyesuaikan. Periode kemunculan ABSSBK itu ialah antara permulaan masuknya Islam sampai waktu masyarakat Minang menghadapi kolonial Belanda hingga pasca perang Paderi, dan Belanda memanfaatkan kesempatan itu dengan menggunakan pendekatan konflik.
Piagam sumpah satie tersebut adalah sebuah konsep dalam tataran ideologis dan dijadikan sebagai falsafah atau pedoman dalam kehidupan sosial, budaya, agama dan politik masyarakat Minang. Konsep tersebut relevan dengan Minang dalam konteks sosial-budaya, sehingga falsafah itu berlaku untuk masyarakat Islam etnis Minang. Falsafah itu hampir sama dengan falsafah di daerah lain seperti di Aceh yang diekspresikan dengan “hukum ngon adat hantom cre, lagee zat ngon sifeut” (hukum adat dan Islam tidak dapat dipisahkan, seperti zat dan sifat suatu benda), atau di Ambon dikenal “adat dibikin di mesjid” (adat dibuat di dalam mesjid).
Sebagian besar masyarakat Minang meyakini perjanjian itu terjadi di puncak Bukit Marapalam. Nama bukit itu awalnya sebuah istilah, berdasarkan foklor berasal dari kata “Merapatkan Alam” yaitu merapat atau terhubung dengan alam Luhak nan Tigo.. Asumsi lain tentang nama itu ialah rapat untuk mencari penyelesaian konflik kaum adat dengan ulama atau antar ulama yang berbeda mazhab dan tariqat.
Puncak bukit tertinggi di Kabupaten Tanah Datar berada di puncak Bukit Marapalam, dinamakan Puncak Pato. Nama itu berasal dari istilah fakto atau pakta (puncak untuk membuat perjanjian). Asumsi lain ialah berasal dari kata patongahan (pertengahan) antara kedudukan Tuanku Lintau di Lintau dengan Yang Dipertuan Agung Raja Pagarruyung di Pagarruyung.
Daerah tersebut strategis karena terletak di daerah perbukitan yaitu antara Kecamatan Lintau dengan Kecamatan Sungayang. Kaum Paderi maupun pasukan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) menggunakan wilayah itu sebagai pertahanan gerilya. Daerah tersebut relatif dekat dengan Luhak nan Tigo sehingga mudah memantau musuh jika bergerak dari Nagari Sungayang, Tanjung, Andalas, dan Marabukit untuk menuju Bukit Marapalam. Belanda sendiri pada masa perang Paderi sulit membobol pertahanan kaum Paderi, sehingga Belanda harus mengerahkan sekitar 150 tentara untuk menaklukannya dan merebut daerah tersebut. Daerah itu juga strategis untuk persediaan logistik, karena Lintau dikenal sebagai penghasil beras di Minang. Selain itu daerah tersebut termasuk kekuasaan Tuanku Lintau yang berkedudukan di Tepi Selo Lintau.
Beberapa versi di sini berdasarkan laporan penelitian dan seminar tentang Sumpah Satie Bukik Marapalam (1991). Versi pertama tentang peristiwa kemunculan piagam sumpah satie itu terjadi pada masa Syekh Burhanuddin menyebarkan Islam di tengah-tengah kuatnya pengaruh adat di alam Minang. Hamka (1984) bahwa evolusi perkembangan Islam (secara tersirat ia memperkirakan masa Syekh Burhanuddin) masih berlaku konsensus pertama yaitu “adaik basandi syarak, syarak basandi adaik”.
Fakta sosial pun membuktikan bahwa ia berhasil mengembangkan aliran Sattariyah di Nagari Andaleh ke pedalaman Minang yaitu ke Marabukit yang berada di kaki Bukit Marapalam.
Azwar Datuk Mangiang pernah mewawancarai Inyiak Canduang (penulis buku “Perdamaian Adat dan Syarak”) pada akhir tahun 1966 di Pekan Kamis Candung. Dalam makalah “Piagam sumpah satie Bukik Marapalam”, Azwar menyatakan peristiwa itu terjadi sekitar tahun 1644 Masehi (M), jauh sebelum revolusi perkembangan Islam di alam Minang oleh Paderi.
Alam Minang terdiri dari rantau dan luhak nan tigo. Rantau Minang mencakup wilayah di luar Luhak nan tigo itu, yaitu rantau timur (Kampar, Siak, Rokan, Asahan, Indragiri, Jambi dan Batang Hari) dan rantau barat di Pantai Barat Sumatera (Natal, Sibolga, Barus, Singkel, Trumon, Tapak Tuan, Meulaboh, Tiku, Pariaman, Indrapura, Muko Muko, Majuto dan Bangkahulu). Luhak nan tigo yaitu Luhak Agam (sekeliling Bukittinggi), Luhak Tanah Datar (selingkar Batu Sangkar) dan Luhak Lima Puluh Kota (sekitar Payakumbuh). Secara geografis ketiga luhak itu relatif berdekatan, terutama antara Luhak Tanah Datar dengan Luhak Lima Puluh Kota.
Sejarah perkembangan Islam di Minang adalah sejarah perkembangan kota-kota dagang di rantau Minang. Awal abad ke-7 M atau abad I Hijriah rantau timur Minangkabau telah menerima dakwah Islam. Bahkan J.C. van Vanleur dalam bukunya Indonesian Trade & Socety (1955) menyatakan bahwa pada permulaan tahun 674 AD Pantai Barat Sumatera telah dihuni koloni Arab.
Ketika itu Kerajaan Sriwijaya yang berpusat di Palembang telah menyebarkan agama Hindu ke Nusantara dari abad ke-7 hingga ke-13 M. Masuknya Islam pada masa itu menimbulkan persaingan perdagangan sekaligus pengaruh untuk mengembangkan agama masing-masing. Sebagaimana pernah terjadi persaingan sengit antara angkatan Laut Sriwijaya dengan pedagang Islam di Malaka. Pedagang muslim Arab dan Parsi akhirnya menuju pesisir timur dan barat Sumatera. Kemudian akibat ‘perkawinan politik’ antara saudagar Islam dengan putri kerajaan setempat, maka terbentuklah kerajaan Islam Perlak dengan sultan pertamanya Syekh Maulana Abdul Aziz Syah yang menganut Islam Syiah (840 M-888/913 M). Namun akhirnya di Perlak juga berkembang aliran Sunni.
Sriwijaya kembali menyerang Perlak namun kemudian dimenangkan oleh Perlak. Setelah itu Perlak dipimpin oleh seorang Sunni yaitu Sultan Makhudum Alaiddin Malik Ibrahim Syah Johan berdaulat (1006 M). Sriwijaya kemudian berhadapan dengan Kerajaan Darma Wangsa di Pulau Jawa, setelah itu dengan Majapahit, dan Majapahit menang sejak tahun 1477 M. Seluruh Pantai Timur Minang jatuh ke tangan Majapahit sampai akhirnya Majapahit lemah setelah raja Hayam Wuruk meninggal. Semenjak itu pula kerajaan Pagarruyung diperintah oleh putera mahkota pertama Majapahit keturunan Kertanegara dan Dara Petak dari Minang, yaitu Adityawarman.
Sementara itu tahun 1400 Malaka dan Samudera Pasai, masing-masingnya menjadi kota dagang dan kerajaan Islam. Pengaruh Islam berkembang sampai ke Pantai Barat Minang. Akan tetapi, dinamika perkembangan dakwah Islamiyah agak lamban di sana, sebab sering terjadi pertentangan mazhab Syiah dengan Sunni di Aceh dan masalah perebutan Selat Malaka.
Kemudian rantau Alam Minang sudah mulai didominasi pemeluk Islam. Sementara Yang Dipertuan Adityawarman masih memeluk Budha dan Dinastinya berlanjut sampai tahun 1581 M. Kekuasaannya hanya terbatas di sekitar kerajaannya. Bahkan Mochtar Naim dalam karyanya Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau (1984) mengatakan bahwa raja hampir tidak memiliki kekuasaan apa-apa di Minang. Ia hanya sebatas simbol kekuasaan dan lambang persatuan. Terutama setelah Datuk Katumanggungan dan Datuk Parpatih Nan Sabatang meninggal, raja melimpahkan kekuasaannya kepada raja-raja muda yang disebut rajo kaciak (raja kecil) dan (atau) penghulu di rantau. Raja (kingship) berbentuk kuasa tiga serangkai (trium virate), disebut juga Rajo Tigo Selo yang bersemayam di Pagarruyung di Luhak Tanah Datar. Mereka adalah Rajo Alam (sebagai primus inter pares dari ketiga kuasa itu), namun yang lainnya yaitu Rajo Adat dan Rajo Ibadat sesungguhnya berkedudukan dan mempunyai daerah masing-masing di Buo dan di Sumpur Kudus.
Kekuasaan tiga serangkai itu diperkuat oleh dewan menteri yang disebut Basa Ampek Balai. Sistem tersebut dicontoh dari Kerajaan Majapahit yang pernah dipimpin hanya oleh Patih Gdjah Mada sendiri. Mereka adalah Bandaharo dari Sungai Tarab, Tuan Kadi dari Padang Ganting, Mangkudum dari Suruaso dan Indomo dari Sumanik. Kuasa mereka diperkuat pula oleh Tuan Gadang dari Batipuh untuk urusan pertahanan. Sebelum kerajaan Pagaruyung diruntuhkan Belanda, dalam tahun 1821 Sultan Begagar Alamsyah telah mempermaklumkan kepada seluruh rakyat di Minangkabau untuk angkat senjata, perang melawan penjajah Sejak itu perang Paderi telah berubah bentuk menjadi perang Minangkabau. Sesungguhnya kesepakatan antara kaum adat dan kaum agama sudah terlaksana, sebagai realisasi dari piagam Bukik Marapalam dan Kesepakatan Tandikat.
Jauh sebelum perang Paderi, pernah tercatat tahun 1411 M raja Pagarruyung keempat Dewang Pandan Sutowono (Raja-raja Pagarruyung yaitu Adityawarman, Anggawarman_anaknya, Dewang Duato Doewano_keponakan pertama, Dewang Pandan Sutowono_keponakan kedua) dan permaisurinya sudah memeluk Islam dan mereka berguru kepada Tuanku Syekh Magribi atau dikenal juga Syekh Ibrahi (Maulana Malik Ibrahim).
Pada masa itu telah terjadi penyesuaian antara Islam dengan adat setempat. Sebagaimana yang disebutkan L.C. Westenenk dalam karangannya Opstellen over Minangkabau bahwa masa adaik mananti, syarak mandaki telah ada upacara ritual pada dua buah batu di Pincuran Tujuh di Batang Sinamar, Kumanih. “Batu Palimauan” tempat Rajo Ibadat disucikan dengan limau (jeruk) sebelum mengucapkan kalimat Syahadat dan “Batu Pa-Islaman” tempat Syekh Ibrahi melakukan khitanan kepada mereka. Namun kegiatan yang erat dengan budaya Hindu-Budha masih akrab dalam masyarakat Minang kala itu.
Kemudian datanglah Syekh Burhanuddin yang bernama asli Pono. Ia berguru kepada Syekh Abdurrauf di Aceh. Ia berdakwah ke Minang dengan membuka sekolah agama seperti di Ulakan Pariaman dan di Kapeh Kapeh Pandai Sikek Padangpanjang yang ramai dikunjungi oleh murid dari Luhak nan Tigo. Ia juga berusaha memurnikan ajaran Islam dari pengaruh budaya Hindu-Budha seperti minum tuak, menyabung ayam atau berkaul ke tempat keramat. Istana Pagarruyung juga menjadi sasarannya dan ia berhasil. Keberhasilan itu membuat dia dikenal sebagai ulama besar di Minang.
Masa itu sempat terjadi perbedaan pendapat antara penghulu sendiri, dan di antara yang tidak setuju itu kemudian menentang ulama. Namun kesepakatan damai tercipta antara para Penghulu, Tuanku dan Alim Ulama Minang. Kesepakatan itu bertujuan untuk saling mengakui eksistensi ulama dengan penghulu, sehingga ulama bukan bawahan Penghulu seperti panungkek, manti dan dubalang,
Para kaum adat dan ulama yaitu Syekh Burhanuddin sebagai penggagas piagam sumpah satie tersebut dengan dua muridnya (salah satu muridnya Idris Majolelo) bersama penghulu Ulakan menemui Yang Dipertan Agung Pagarruyung. Seterusnya mereka bersama Rajo nan Tigo Selo dan Basa Ampek Balai melakukan upacara pemotongan kerbau. Mereka memakan dagingnya, dikacau (menebarkan) darahnya, ditanam tanduknya, dilacak pinang dan ditapung batu, ‘diikat’ dengan Al Fatihah, dikarang sumpah jo satie, siapa yang melanggar akan dimakan biso kawi di atas dunia, dimakan kutuk Kalammu`llah pada akhirat dan disudahi dengan doa selamat.
Semenjak itu muncul beberapa pepatah petitih, yaitu syarak mandaki, adaik manurun; syarak lazim, adaik kawi; syarak babuhue mati, adaik babuhue sintak; syarak balindueng, adaik bapaneh; syarak mangato, adaik mamakai; syarak batilanjang, adaik basisampieng (___).
Semenjak Aceh di bawah Sultanat Tajul Alam Shafiathuddin Syah menguasai Pantai Barat Sumatera dari tahun 1641-1675 M, Sultan nan Salapan dari Pagarruyung diperintahkan turun ke Aceh, Bantam, Palembang, Jambi, Indragiri, Siak, Rokan, Sungai Pagu, Indrapura, dan Pariaman untuk menjadi raja dan berdakwah. Mereka juga yang menyampaikan buek parbuatan (piagam sumpah satie Bukik Marapalam) kepada masyarakat di alam Minang. Kepergian Sultan nan Salapan dilepas oleh rajo-rajo (raja-raja), manti-manti, Basa Ampek Balai, penghulu-penghulu, tuanku-tuanku dan para hulubalang yang diundang dari Luhak nan Tigo. Mereka yang diundang sekaligus ditugaskan menyebarkan piagam sumpah satie itu. Ketika itu Pagarruyung telah diperintah oleh Sultan Ahmadsyah gelar Tuanku Rajo nan Sati yang dilewakan dengan gelar tambahan yaitu Raja Alif. Dialah raja Pagarruyung yang pertama bertugas menyebarluaskan piagam sumpah satie tersebut.
Versi kedua yaitu Piagam sumpah satie Bukit Marapalam masa awal gerakan/perang Paderi. Gerakan Paderi yang diilhami oleh kebangkitan Islam oleh kaum Wahabi di Tanah Suci, Arab Timur. Paham Wahabi berkembang sampai ke Minang secara radikal dan pendukungnya hendak mengembalikan kemurnian Islam secara revolusi. Mereka disebut kaum Paderi yaitu orang dari kota pelabuhan di Pidie, Aceh.
Daerah pertahanan yang strategis bagi kaum Paderi adalah puncak Bukit Marapalam. Namun mereka khawatir korban bertambah di kalangan masyarakat. Kaum Paderi menggagas perjanjian dengan kaum adat. Datuk Bandaro berinisiatif menemui Datuk Samik untuk menyetujuinya. Kesepakatan mereka dilaporkan kepada Datuk Surirajo Maharajo di Pariangan. Mereka berhasil mengeluarkan Piagam sumpah satie Bukik Marapalam yaitu ABSSBK.
Versi ketiga yaitu Piagam sumpah satie Bukit Marapalam masa awal perang Paderi sekitar tahun 1803-1819. Kedua pihak yang berperang sama-sama kuat. Namun kaum Paderi sering melakukan serangan mendadak ke nagari-nagari. Benteng pertahanan mereka sekitar jalan bukit Marapalam ke Lintau diparit tinggi dan melingkar. Kaum adat melirik bangsa Eropa (Belanda) untuk mendapatkan dukungan sehingga terjadi perang Paderi. Korban berjatuhan diketiga pihak yang berkepentingan. Melihat kejadian itu yang lebih menguntungkan Belanda, maka muncul kesadaran beberapa kaum adat untuk berdamai dengan ulama Paderi dan bersatu melawan Belanda. Tersebutlah Datuk Bandaro wakil golongan adat dan Tuanku Lintau sebagai tokoh yang memprakarsai perjanjian itu di Bukit Marapalam. Fakta sosial membuktikan bahwa Tuanku Lintau yang mengkonsep, mengatur, dan menjalankan ABSSBK.
Versi keempat yaitu Piagam sumpah satie Bukit Marapalam masa vacum perang Paderi. Kaum Paderi menganggap kaum adat dan Belanda sebagai kafir yang harus diperangi. Strategi Belanda yaitu mengalihkan pasukannya menghadapi Perang Diponegoro di Jawa, sementara Belanda pura-pura berdamai dengan kaum Paderi, namun antara ulama dengan kaum adat belum juga berdamai. Melihat strategi Belanda maka kaum Paderi juga melakukan rekonsiliasi dengan kaum adat untuk menambah kekuatan dengan sebuah perjanjian. Pelopor dari kaum adat yaitu Datuk Bandaro dan dari Paderi (sekaligus yang mampu menanamkan ajaran Islam kepada mereka) adalah Tuanku Lintau. Pertentangan mulai reja semenjak perjanjian itu, namun pertentangan masih terasa antara para datuk dari Nagari Saruaso dan Batipuh.
Versi kelima yaitu Piagam sumpah satie Bukik Marapalam masa Perang Paderi II. Strategi perang Belanda berhasil, terbukti dengan kekalahan Diponegoro dan kemudian jatuhnya benteng pertahanan Paderi Lintau di puncak Bukit Marapalam bulan Agustus 1831. Berturut-turut jatuhlah ke tangan Belanda benteng di Talawi, Bukit Kamang dan kekuatan Tuanku Nan Renceh. Semua Paderi di Agam jatuh ke tangan Belanda akhir Juni 1832. Mereka telah terlanjur diadu domba oleh Belanda dengan adanya konflik agama dan adat. Namun sebelum Bukik Marapalam jatuh ke tangan Belanda, antara kaum adat dan agama telah berunding yang menghasilkan piagam sumpah satie tersebut. Kembali disebut-sebut Tuanku Lintau sebagai pemerakarsanya.
Versi keenam yaitu Piagam sumpah satie Bukik Marapalam pada akhir perang Paderi. Setelah kekalahan Paderi Belanda bisa menguasai Minang. Belanda mulai merubah tatanan sosial masyarakat. Mereka mengangkat Penghulu Bersurat untuk kepentingan administrasi dan untuk urusan pemungutan pajak. Nagari-nagari yang otonom di Minang mereka jadikan bagian wilayah Administratif Pemerintahan Hindia Belanda. Namun kekhawatiran masyarakat Minang terhadap Belanda yang utama adalah pandangan bahwa mereka orang kafir, sehingga ada kecemasan terjadinya perubahan struktur sosial dan nilai-nilai agama dalam masyarakat. Upaya mengantisipasi hal itu adalah memperkuat persatuan kaum adat dan ulama dengan mencetuskan piagam sumpah satie tersebut.
Keenam versi tersebut terdapat kelemahan dan memperkuat keyakinan tentang peristiwa di Bukit Marapalam itu. Ketidakjelasan informasi tentang peristiwa Piagam sumpah satie Bukit Marapalam telah menggagalkan rencana Pemerintah Daerah Sumatera Barat membangun tugu Sumpah Satie Marapalam di daerah tersebut.
ADAT BASANDI SYARAK
Sebelum Islam masuk ke Minangkabau, orang Minang memanfaatkan alam sebagai sumber ajarannya. Mereka menggali nilai-nilai yang diberikan alam. Ini diungkapkan dalam filsafat orang Minangkabau alam takambang jadi guru.
Ketika agama Islam masuk, adat di Minangkabau secara hakikinya tidak bertentangan dengan ajaran syarak dalam agama Islam, karena alam yang telah dijadikan pedoman hidup masyarakat Minangkabau adalah ciptaan Allah semata. Itulah sebabnya ketika Islam masuk langsung diterima oleh orang Minangkabau. Maka, kalaupun dalam sejarah, timbulnya Perang Paderi tidak semata karena disebabkan pertentangan kaum adat dan kaum agama (Islam), akan tetapi karena pemurnian ajaran syarak di dalam pelaksanaan adat semata, sebagai akibat dari amar makruf nahi munkar. Akan tetapi pemerintahan kolonial Belanda, memakai peristiwa ini sebagai alat politik adu domba.
Namun pada tahun 1811 penguasa adat di Minangkabau, yakni Sultan Begagarsyah mempermaklumkan perang bahu membahu antara seluruh masyarakat anak nagari di Minangkabau, melawan pemerintahan kolonial Belanda. Kaum adat dan kaum agama menyatukan pendapat dalam pertemuan pangulu tigo luhak beserta para ulamanya. Pertemuan ini melahirkan Piagam Bukik Marapalam yang menegaskan bahwa antara adat dan Islam tidak bertentangan.
Adat bapaneh, syarak balinduang.
Syarak mangato, adat mamakai.
Adat bapaneh, syarak balinduang maksudnya adat bagaikan tubuh, agama sebagai jiwa. Antara tubuh dan jiwa tidak bisa dipisahkan. Syarak mangato, adat mamakai maksudnya syarak memberikan hukum dan syariat, adat mengamalkan apa yang difatwakan agama. Kesimpulan piagam ini lazim disebut adat jo syarak sanda-manyanda, kemudian lebih dikenal lagi dengan adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah.
Sumber : Buya Maso’ed Abidin

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PASAMBAHAN MAKAN BUKITTINGGI

PIdato Pendek " Man Jadda Wajada "

Doa harian muslim